Jumat, 08 Februari 2013

The Orgy Club 3: Buih Cinta di Tengah Lautan Birahi


“Amel ya...dia sebenernya anak yang baik, orangnya gak bertele-tele, pinter lagi, gua baru tau cerita dia kaya gitu, ke gua aja yang kenal lebih lama belum pernah cerita, tapi ke lu udah, gua rasa dia juga sebenernya ada hati ke lu Ric” kata Indra mangut-mangut mendengar curhatku, “oh iya makasih Mas!” katanya pada si mas pembantu kantin yang baru mengantarkan pesanannya.
Saat itu jam setengah sepuluh pagi, baru bubaran kuliah pagi. Kami makan pagi sambil ngobrol mengenai orgy club dimana aku baru saja menjadi newbie-nya yang berkat rekomendasi dari temanku yang satu ini. Dan baru pada Indra lah aku curhat mengenai perasaanku terhadap Amel yang tiba-tiba saja timbul setelah aku ML dengannya dan ia mulai terbuka padaku. Aku tidak ingin langsung mengatakan ini cinta karena aku ingin lebih berhati-hati mengenai yang satu itu agar tidak sakit hati lagi setelah dikhianati mantanku.
“Ya itulah aneh kan Dra, gua kayanya ada rasa ke dia tapi malah enjoy kalau liatin dia digituin sama orang lain, lagian dia itu kan lebih tua dari gua, gua pengennya yang lebih muda daridulu juga”
“Haiya masa soal itu aja dimasalahin kaya milih milih mobil, gini aja deh bro, mulai sekarang gua ga akan pernah nyentuh si Amel lagi sampe lu mutusin kalau lu emang ga pengen macarin dia”
“Pacarin? Wah gua belum kepikir kesitu sumpah, buru-buru mutusin pacarin malah bikin sakit ati kaya yang dulu-dulu.”
“Udah, nyantai aja mikirnya, jodoh gak jodoh udah ada yang atur, kalau lu mau minta pendapat cewek soal  ini ke Kak Angel deh, dia itu cewek yang dewasa bukan cuma umur tapi juga pemikiran, dia paling enak buat teman curhat, percaya deh”
Tiba-tiba BB Indra berbunyi dan ia mengangkatnya lalu berbicara selama beberapa saat, aku cuek meneruskan makanku sampai ia menyelesaikan bicaranya
“Huh sialan, baru inget habis masa aktif!” gerutu Indra ketika mengirim pesan yang gagal.
“Mau pake yang gua dulu?” tawarku
“Ngga...ntar aja....eeehh hhmmm...Ric!” tiba-tiba wajah Indra tersenyum penuh arti sambil memandang lurus ke belakangku
“Apa?” jawabku
“Gua lagi butuh pulsa nih, mau ga kita taruhan kalau gua menang lu isiin mentari 100 buat gua, gimana?” tantangnya.
“Kalau lu ga menang gimana?” tanyaku lagi
“Ntar gua yang beliin pulsa buat lu kalau dah habis”
“Boleh...taruhan apa emang? Bola?” aku menyeruput air mineralku.
“Bukan...lu pasti seneng deh, tuh lu liat di sana, tuh dokter itu!”

Dr. Lea

Aku menengok ke belakang mengikuti pandangan matanya, kulihat Dokter Lea, salah satu dokter klinik kampus dan juga salah satu dosen di fakultas kedokteran, baru saja menyelesaikan makannya dan hendak beranjak.
“Dokter Lea, napa emang? Naksir lu?”
“Gini, kalau gua bisa ngentotin dia, gua menang, deal?” katanya dengan suara dipelankan.
Aku menanggapinya dengan tertawa, aku pikir temanku ini tidak waras atau apa, ini kan namanya cari penyakit, dia kira ini di kost/klub apa? Bisa begituan seenaknya? Apalagi dengan dokter kampus, kena gampar saja masih untung, paling parah bisa-bisa di DO atau malah dituntut pelecehan seksual.
“Hiihihi...Dra...Dra, otak lu korslet ya? Kelamaan di klub ditambah nyandu JAV sama hentai ya!” tawaku
“Sekarang lu ketawa, nanti kita liat hasilnya, gimana? Deal ga?” tantangnya lagi.
Aku jadi penasaran juga nih, pakai cara apa dia kira-kira, Indra ini memang orangnya supel dan dengan lawan jenis gampang akrab, tapi kalau bisa merayu dokter kampus sampai mau diajak ML dalam sehari rasanya ‘mission imposible’. Maka kutepuk sambutan telapak tangannya pertanda menerima tantangannya, kan lumayan tuh dapet pulsa seratus ribu.
“Oke deal ya...yuk sekarang ikut gua, dia pasti balik ke klinik, ayo mumpung hari Jumat lagi ga banyak orang.” ajaknya.
Aku mengikuti Indra ke klinik kampus dekat fakultas kedokteran, suasana hari Jumat tampak lenggang seperti biasanya. Kamipun tiba di depan klinik itu, Indra mengetuk pintunya.
“Masuk!” sahut suara wanita dari dalam sana.
“Ehh....kamu Ndra, ada perlu apa nih?” tanyanya ramah, ia sedang membaca dokumen medis di mejanya.
Sebagai gambaran, Dokter Lea ini adalah seorang wanita 30 tahun dengan rambut pendek sebahu, wajahnya yang imut dan murah senyum membuatnya terlihat lebih muda dari usia sebenarnya. Aku sendiri agak tidak percaya ketika belakangan mengetahui usianya. Aku sih hanya sekedar tahu saja tentang dirinya, memang banyak yang bilang ia adalah dokter cantik, tapi tidak sampai kenal karena aku tidak pernah sakit sampai harus ke klinik kampus.
“Pagi Dok...mau medical check up nih!” sapa Indra, “ini teman saya Rico” ia memperkenalkan diriku.
“Rico” aku menjabat tangannya yang halus lalu duduk di depan mejanya bersama Indra, ia tersenyum manis sekali.
“Lagi ga sibuk kan Dok?” tanya Indra
“Gak kok, biasa hari gini emang sepi, yang mau medical check up kalian berdua nih?”
“Iyah Dok, saya aja dulu ya!” kata Indra
“Baik...yuk duduk di ranjang sana” Dokter Lea menutup map-nya dan berjalan ke arah ranjang pasien di pojok.

Indra mengikuti dari belakang, aku jadi makin penasaran apa yang akan dilakukannya, masa dia mau senekad itu memperkosa Dokter Lea? Beberapa langkah dari ranjang pasien, tiba-tiba Indra menarik lengan Dokter Lea dan membalikkan tubuhnya menghadap dirinya lalu didekapnya erat. Mulut Indra langsung nyosor mencium bibirnya.
“Ahhh...Dra! Kamu gila yah!” serunya sambil memalingkan muka melepaskan diri dari mulut Indra yang mulai nakal dan sudah mulai menciumi lehernya.
“Ah, dokter ini. Santai aja, dia member klub terbaru kok” sahut Indra enteng dan dengan sigap ia menyingkap rok span hitam Dokter Lea hingga terpampanglah paha mulus dokter cantik itu.
Segera setelah itu Indra mencumbunya habis-habisan sehingga Dokter Lea terlihat mulai enjoy dan akhirnya dia berkata,”Uhhh...dasar...bilang kek dari tadi, jadi ga usah jaim-jaiman!” suaranya nampak letih namun disertai oleh desahan nafsu yang menggelora terlebih saat tangan Indra mulai mengelusi pahanya yang indah itu.
Indra mengacungkan jari tengah dan telujuk padaku di belakang punggung Dokter Lea, mataku memancarkan kemenangan tanpa melepaskan ciumannya terhadap Dokter Lea. Selanjutnya ia menunjuk ke arah pintu dan memutar telapak tangan, aku yang terpana segera ke arah pintu dan menguncinya. Dengan dada berdebar-debar, aku pun menghampiri mereka. Kupeluk tubuh langsing Dokter Lea dari belakang. Tanganku meraba dadanya yang berukuran sedang, kuremas lembut buah dadanya sehingga ia menggeliat.
“Nah...kenalin Ric, Dokter Lea ini dulunya pernah ngekost di tempat kita, jadi dia ini alumni klub, jadi ga usah sungkan-sungkan sama beliau, ya ga Dok?” kata Indra sambil meremas payudara Dokter Lea yang satunya.
“Aahh...diem kamu Ndra, welcome to the club Ric, saya suka member baru, jadi ingin mengenal kamu lebih dalam” Dokter Lea menengokkan wajahnya menghadap wajahku dekat sekali, suaranya jadi basah dan penuh gairah.
Lengannya merengkuh leherku dan telapak tangannya mendorong kepalaku ke arah wajahnya. Bibir kami pun bertemu dan berpagutan panas. Tanganku mulai menyingkap ke atas kaos dibalik jas dokternya sehingga bra kremnya terekspos.
“Wow, sudah mahir yah kamu. Sudah pengalaman ya?” guraunya setelah melepas ciuman sambil meraba selangkanganku, tangan lentiknya meremas penisku sehingga semakin menegang saja.
“Belum Dok, baru pernah ML sama satu mantan sebelum gabung ke klub?” jawabku mengendus leher jenjangnya, aroma parfum berkelas terasa dari tubuhnya.
“Tapi begitu masuk langsung empat cewek dia sikat semua dalam sehari hehehe...” timpal Indra yang tangannya tengah mengelusi selangkangan Dokter Lea dari luar celana dalamnya.
“O ya....nafsu kamu gede juga ya!” kata Dokter Lea tersenyum nakal padaku, “yuk kita ke sana aja, capek dong berdiri terus gini!” ia mengajak kami ke ranjang pasien saja agar nyaman.

Kini ia pun duduk di pinggir ranjang diapit olehku dan Indra di sebelah kanannya. Aku terus menciumi wajah, bibir dan leher Dokter Lea, sementara Indra sudah melucuti bra-nya hingga terpampanglah kini kedua payudaranya yang bulat sedang dengan puting berwarna coklat itu. Desahan Dokter Lea semakin liar ketika lidahku menggelitiki lehernya yang jenjang dan Indra bergantian melumat dan meremasi payudaranya. Bibirku kembali memagut bibirnya, lidah kami langsung terlibat saling jilat dan belit dengan panas sementara tangan kiriku meremas payudara kanannya. Ia mengerang tertahan di sela percumbuan kami ketika tangan kiriku turun ke bawah dan mengelus-elus paha dan selangkangannya. Tubuhnya semakin menggeliat tak menentu dan nafasnya terasa semakin memburu. Indra naik ke ranjang dan membuka celananya, ia menyandarkan bantal pada tembok agar nyaman berselonjor di ranjang pasien
“Sepong dong Dok!” pintanya memegang penisnya untuk dilayani Dokter Lea, ukuran penis Indra ternyata tidak jauh beda dengan punyaku, standar cowok Asia lah.
Dokter cantik itu membaringkan diri menyamping di antara paha Indra, lalu mencium kepala penis Indra, batangnya dan akhirnya memasuk-keluarkan penis itu ke dalam mulutnya. Tangan kirinya memegang batang penis temanku itu sambil bibir dan lidahnya terus melakukan aksinya. Secara alamiah, kedua tanganku bergerak melucuti rok spannya hingga lepas lalu disusul celana dalamnya. Kini ia telah telanjang bagian bawah, tinggal memakai atasan berupa kaos yang sudah tersingkap dan jas dokternya. Kuamati dengan nanar kewanitaan Dokter Lea, vaginanya ditumbuhi bulu yang tebal tapi teratur. Agaknya ia rajin merawatnya, sebab bulu-bulu itu dicukur rapi, belahannya nampak menggairahkan membuatku tak sabar untuk segera menikmatinya. Kuraba wilayah segitiga kenikmatan itu, jari-jariku mengusap-usap bibir vaginanya lalu kugerakkan keluar masuk ke belahannya.
“Auuwww, aaahhh, enak Ric … terusin ya!” desis Dokter Lea sambil menggeliatkan pinggulnya dengan indah.
Setelah beberapa saat mencucuk-cucuk vaginanya dengan jari sampai wanita cantik itu menggeliat-geliat, kini aku mendekatkan wajahku ke selangkangannya dan lidahku kujulurkan ke belahannya yang telah becek.
“Ooooohhhh…!” desahnya sambil mempercepat gerakan mulutnya terhadap penis Indra.
Jariku membuka vaginanya hingga klitorisnya terlihat. Kuciumi biji kecil itu sambil sesekali melakuan gerakan menyedot. Bagian sensitif itu sudah tegang sebesar biji kacang hijau. Indah sekali bentuknya, apalagi ketika kukuakkan labianya bagian atas klitorisnya. Kedua labianya kupegang dengan kedua tanganku dan kubuka lebar-lebar lalu dengan lembut kujulurkan lidahku menusuk makin dalam ke vaginanya.

“Aaaaaahhhhhh ….Ric pinter juga ya kamu!” Dokter Lea berusaha mengendalikan erangannya namun sesekali suaranya meninggi tanpa terkendali.
Aku melakukan gerakan mencium, menjilat, menusuk, menyedot secara bergantian, bahkan tak urung kuisap klitoris dan kedua labianya secara bergantian, hingga erangan dan rintihannya semakin keras.
“Ahhh, yes...eeemmm!” Indra yang sedang dioral penisnya juga meracau tak karuan.
Kepala Dokter Lea naik turun mengoral penis temanku. Tangan Indra tidak tinggal diam, ia meremas-remas payudara Dokter Lea dan memilin-milin putingnya.
Cairan kewanitaan Dokter Lea keluar semakin banyak saja. Kusedot dan kutelan cairan bening itu dengan nikmatnya, gurih rasanya. Tangan kanannya kini memegang belakang kepalaku dan menekankannya kuat-kuat ke selangkangannya sambil menggeliat-geliat seksi. Agaknya ia sudah orgasme. Kurasakan aliran cairan menyembur dari dalam vaginanya yang langsung kuseruput seluruhnya dengan bernafsu. Ia menolakkan kepalaku, mungkin merasa jengah karena kuisap seluruh cairannya, tanpa mau menyisakan sedikit pun. Aku tidak mengikuti perlakuannya, tapi terus menekan wajahku menjilati sisa cairan orgasmenya yang masih berleleran. Aku masih melumat vagina Dokter Lea ketika ia mengangkat wajahku lalu mencium bibirku.
“Good start Ric, mantap!” pujinya
Kulihat Indra terpengaruh atas orgasme Dokter Lea
“Sekarang aja ya Dok, saya belum dapet nih!” ajaknya
“Aaahh...oke, tapi saya masih capek sih, jadi di bawah ya,” Dokter Lea menelentangkan dirinya di ranjang tersebut setelah sebelumnya melepaskan jas dokter, kaos dan bra nya hingga bugil total.
“Ric...tolong taro di kursi situ aja!” pintanya padaku
Aku pun melakukan permintaannya, sekalian aku melepas celana dan celana dalam lalu kuletakkan di dekat pakaiannya. Setelah itu aku kembali ke ranjang tempat peraduan kami. Indra telah mengambil posisi di antara paha Dokter Lea dan menggesek-gesekkan penisnya ke bibir vagina dokter cantik itu. Dokter Lea nampak naik lagi birahinya atas perlakuan Indra. Indra menekan penisnya hinggga melesak semakin dalam ke dalam vagina dokter itu. Dokter Lea sendiri menyambutnya dengan membuka lebar-lebar pahanya. Kedua kakinya dipentang dan dipegang oleh kedua tangan Indra. Dokter Lea lalu mengisyaratkan aku mendekatinya. Aku pun naik ke dadanya dan tangannya langsung meraih penisku.

“Keras nih...kayanya ga bakal mengecewakan, hihi...!” komentarnya.
“Ga bakal Dok, jaminan mutu boleh dicoba!” timpalku.
“Emangnya baygon, jaminan mutu!” ia mulai mengocok penisku pelan.
Sambil menyentuh penisku, perlahan-lahan ia dekatkan wajahnya ke arah pahaku dan menjilat kepala penisku.
“Eeemmm...sedap Dok!!” desahku nikmat.
Dokter Lea semakin liar bergerak menikmati tusukan penis Indra sambil melumat penisku. Kedua tanganku tidak mau tinggal diam dan meremas-remas kedua payudaranya dengan putingnya yang semakin mengeras itu. Genjotan penis Indra kulihat semakin kencang dan itu berpengaruh pada semakin kuatnya Dokter Lea menghisap penisku. Kurasakan kepala penisku menekan ujung tenggorokannya, tapi wanita ini  tidak peduli, ia sepertinya sudah ahli soal beginian, air liurnya menetes di sela-sela bibirnya yang tak kenal lelah mengoral penisku. Bahkan ketika seluruh penisku ia telan, lidahnya mengait-ngait lubang kencingku, rasanya agak panas, tapi geli bercampur nikmat. Aku ikut merintih tanpa kusadari. Plok...plokkk...plok....suara penis Indra keluar masuk semakin cepat. Penisku disedot kuat-kuat oleh Dokter Lea sehingga tanganku pun makin gemas meremas payudaranya.
“Ahhh, saya mau keluar Dok...yessshhh!” erang Indra ngos-ngosan

“Sama Dra...bareng ya? Oooohhhh, akkhhh … enak gilaa... yang dalam... aaauhhggghhhhh!!” rintih Dokter Lea semakin tinggi.
Desah orgasme Dokter Lea tak tertahankan ketika dengan hebatnya penis Indra menghunjam dengan cepat dan berhenti saat orgasmenya pun menjelang. Kedua pahanya menjepit pinggul temanku sementara mulutnya menelan penisku hingga ujungnya kurasakan menekan tekak tenggorokannya. Kuperhatikan tubuh wanita ini yang indah bergetar-getar beberapa saat. Aku menengok ke belakang, tubuh Indra pun menegang otot-ototnya sambil terus menusukkan penisnya lebih dalam. Aku turun melepaskan diri dari Dokter Lea agar ia lebih menikmati orgasmenya dengan utuh dan mengambil tempat duduk di pinggir ranjang.  Indra menghempaskan tubuh di atas tubuh Dokter Lea, sementara kedua tangan wanita itu memeluk temanku. Kuamati mereka berpelukan sambil bertindihan menikmati gelombang orgasme yang makin menyurut.
Tak lama kemudian, Dokter Lea berkata dari balik himpitan tubuh Indra, “Sekarang giliranmu ya Ric...yuk cepet mumpung masih jam jumatan nih, masih sepi!”
“Nggak apa-apa Dok, santai aja. Saya kan cuma nemenin Indra aja,” aku berbasa-basi
“Jangan gitu dong” Dokter Lea menolakkan tubuh Indra dan turun dari ranjang lalu mendekatiku. “kamu kan pendatang baru, masa saya belum memberi sambutan ke kamu” ia cium bibirku lembut sambil melingkarkan kedua tangannya ke leherku.
“Nah, sekarang kamu berbaring aja di ranjang” suruhnya padaku, “Dra kamu turun dulu, sempit ranjangnya tuh!”
Indra hanya mengangguk dan turun dari ranjang yang sebenarnya hanya muat satu orang itu untuk membiarkanku naik
“Giliranlu bro....enjoy!” katanya menepuk lenganku ketika aku hendak membaringkan diri.
Dokter Lea naik ke atas penisku lalu ia membuka kedua belah pahanya lebar-lebar. Rambut-rambut halus vaginanya memberikan nuansa romantis yang tak terlukiskan ketika bersentuhan dengan kepala penisku. Tubuh Dokter Lea benar-benar seindah pualam. Geliatnya begitu erotis, membuat pria manapun takkan mampu menguasai diri untuk tidak menyetubuhinya dalam keadaan begitu rupa.

“Ayo Ric, ga usah malu-malu gitu, tiap member orgy club ga perlu sungkan soal ginian” rayu Dokter Lea sambil mengelus rambutku, kuamati wajahnya dari dekat, benar-benar cantik, di balik wajah wanita berintelektual tinggi ini ternyata mengandung gairah yang tinggi, payudaranya bersentuhan dengan dadaku
Tanganku mengelus-elus lengan dan perutnya. Ia menarik pergelangan tanganku agar mengelus dan meremas payudaranya. Kini aku mulai beroperasi di bagian dadanya dan memainkan putingnya yang kembali mengeras akibat sentuhan jari-jariku. Kupilin-pilin putingnya dengan lembut dan kudekatkan mukaku ke payudaranya. Lidahku kujulurkan menjilati puting payudaranya memberinya sensasi geli, setelah itu kumasukkan putingnya ke dalam mulutku sambil melakukan gerakan menyedot.
 “Ooogghh, ya, yahh, gitu enak Ric! ” desisnya
Disemangati begitu, kedua payudaranya makin kuremas sambil terus mengisap, memilin, menyedot putingnya dengan gerakan bervariasi, kadang-kadang lembut, kadang ganas, hingga pemiliknya menggeliat-geliat nikmat. Kurasakan tangannya yang lembut meraih penisku dan menyentuhkan kepalanya pada bibir vaginanya. Ia menggelinjang-gelinjang antara geli dan nikmat.
“Ooouggghh, kita mulai aja yahh! Udah ga tahan nih” erangnya.
Aku mengiyakan saja mengikuti permintaannya, ia terus memainkan penisku menggesek klitorisnya hingga kurasakan semakin tegang ditekan oleh kepala penisku. Ia menurunkan tubuhnya setelah bibir vaginanya tepat pada kepala penisku
“Eeemmmhh...” lenguhnya merasakan penetrasi penisku pada vaginanya
Secara perlahan ia mulai menaik-turunkan pinggulnya menyambut masuknya penisku yang melesak makin ke dalam.
Indra memandang ke arahku sambil tersenyum. Kini ia berdiri di samping ranjang dan meraih payudara Dokter Lea dan mengenyotnya.
“Aaaahhh …… ” erang Dokter Lea lagi, tangannya memeluk kepala Indra yang menyusu darinya.
Gerakannya menaik turunkan tubuh di atas penisku berlangsung dengan ritme pelan, tetapi kadang-kadang ia menyelinginya dengan gerakan cepat dan dalam. Rintihan nikmat terdengar dari mulutnya
“Oohh...yahh...enak...isep Dra, isep yang kuat!”
Pinggulnya sesekali berputar sehingga penisku seperti sedang mengaduk. Semakin lama gerakan pinggulnya makin tak menentu. Aku sendiri terkadang aktif menggerakkan pinggulku sehingga penisku semakin menghantam-hantam vaginanya. Seiring gerakanku makin bertenaga, desahannya pun makin kuat mengarah pada jeritan, namun ia masih berusaha meredamnya dengan menggigit bibir atau jarinya sendiri. Dengan beberapa kali hentakan ke atas kubuat tubuh Dokter Lea semakin bergetar, kurasa sebentar lagi ia segera menggapai puncak kenikmatan.
“Ric, terusin ….udah mau nih, ooohh!” ia menggeram sambil menyentak-nyentakkan tubuhnya semakin cepat.
Jari-jari tangannya memeluk punggung Indra dengan erat. Dinding vaginanya semakin berdenyut-denyut memijati penisku, sentakannya kadang membuat buah pelirku ngilu tapi perasaan itu bercampur dengan kenikmatan luar biasa. Kurasakan guyuran cairan kewanitaannya membasahi penisku sedemikian rupa hingga tak kuasa kubendung luapan spermaku memasuki rongga vaginanya.
“Dokter....!!! ngecrot nih!” desahku sambil meremas payudaranya
Ia pun akhirnya ambruk menindihku setelah Indra melepaskan pelukannya. Kuciumi bibirnya rapat-rapat dan ia pun menyambut ciumanku. Kurasakan bibir kami berdua agak dingin, sebab aliran darah kami seakan-akan terdesak ke bagian bawah. Kedua belah pahanya menjepit kedua pahaku dengan kuatnya dan jepitan vaginanya seolah-olah ingin mematahkan batang penisku. Dinding vaginanya masih berdenyut-denyut memilin penisku.Beberapa kali aku mendorong tubuhnya tapi ia tak mengijinkan tubuhku meninggalkan tubuhnya.
“Buru-buru amat? Peluk aku Ric...saya suka diberi kehangatan!” katanya.
Mulutnya masih terus menciumi mulutku hingga bibir kami kembali berpagutan dan lidahnya masuk rongga mulutku menggapai langit-langit mulutku. Kulakukan hal yang sama bergantian dengannya. Cairan orgasme kami mengalir di selangkanganku, juga kuperhatikan membasahi wilayah kewanitaannya. Penisku menyusut setelah melakukan tugasnya dengan baik. Aku melepaskan diri dari pelukannya dan berbaring di sebelah sebelah kiri tubuhnya Sungguh sensasi yang terlukiskan nikmatnya. Lama kami berpelukan dalam posisi berdekapan. Elusan jari-jari Dokter Lea di tubuhku membuatku tak habis pikir, betapa dahsyat permainan wanita ini. Ia memiliki kekuatan melawan dua pria sekaligus.

“Oh gitu...jadi akhir minggu ini kalian bakal party bulanan?” Dokter Lea telah berbenah diri dan duduk di belakang meja kerjanya.
“Iya Dok, kalau bisa dateng dong ya...sejak member setahun lalu baru pernah sekali ketemu dokter di party loh saya!” kata Indra
“Ya gimana ya...maaf sekali, bukannya ga kepingin, tapi tuntutan profesi, jadwal padat...yang kali ini juga gak bisa keliatannya, ada shift malam di rumah sakit” ujar Dokter Lea tersenyum, “tapi kalau kalian mau datang ke rumah sakit, welcome banget kok saya...jam malem gitu kadang enak ada yang nemenin” lanjutnya.
“Yah...pengennya sih dokter ke party, ya udah deh....oke kita cabut dulu ya dok! Tar lagi ada kuliah lagi” pamit Indra setelah melihat jam tangan.
“Yuk Dok, kita pamit dulu, sampai nanti ya!” aku juga pamitan.
“Oke bye-bye guys” Dokter Lea bangkit dan mengantar kami ke pintu.
“Wei...ngehe lo...ga bilang-bilang kalau Dokter Lea ex-member!” aku menonjok pelan lengan Indra yang tertawa menang atas diriku.
“Huehehehe...ya salah lu juga ga nyelidikin dulu malah langsung main ketawain gua” katanya, “terus gimana nih taruhannya Ric?”
“Oke...oke gua isiin pulsa lu nanti, lu emang partner in mupeng sejati hahaha....” aku merangkul pundaknya dan berjalan meninggalkan gedung itu.
Tidak apa deh membayarkan pulsa 100ribu untuk temanku ini juga, tidak ada artinya dibandingkan bisa mendapat pasangan seks baru, Dokter Lea yang cantik dan montok itu. Aku dan Indra sedikit berlari memasuki ruang kuliah karena kami sudah agak terlambat. Untunglah Bu Tri yang galak itu belum menutup pintu sehingga kami masih boleh masuk kelas. Satu setengah jam ke depan aku mengikuti kuliah ini seperti biasa. Seusai mata kuliah ini, Indra meninggalkanku karena ada urusan, sedangkan aku masih harus menunggu karena masih ada kuliah berikutnya satu setengah jam lagi. Aku bermaksud menunggu di perpustakaan sambil baca-baca, saat berjalan ke sana aku melewati taman kampus dan bertemu lagi dengan Dokter Lea. Ia sedang bersama seorang bocah laki-laki yang memakai baju seragam taman kanak-kanak yang letaknya tidak jauh dari kampus ini. Anak itu berlari-lari di dekatnya dengan membawa robot-robotan sambil disuapi oleh seorang baby sitter yang sibuk mengejar-ngejarnya.
“Siang Dok!” sapaku menghampirinya, ia juga membalas hai dengan senyuman, “sama keponakan? Atau pasien?”
“Ooh bukan...anak” jawabnya, “Albert! Come here, say hello to uncle!” panggilnya pada anak itu.

“Hah! Anak!?” aku tersentak dalam hati, tidak kusangka Dokter Lea ternyata sudah punya anak sebesar ini, padahal masih terlihat begitu muda dan ramping, selain itu rasa vaginanya juga masih seperti wanita yang belum pernah melahirkan, hampir tidak percaya aku dibuatnya.
“Hi Albert...hello!” aku mengulurkan tangan dan ia dengan malu-malu menjabat tanganku, kuperhatikan wajahnya memang ada kemiripan dengan ibunya, terutama mata dan hidung, wah...ternyata dokter satu ini memang MILF, yes...I like it!
“Pake Inggris ya omongnya?” tanyaku setelah anak itu kembali sibuk dengan mainannya.
“Ya campur lah, kan sekolahnya pake Inggris pengantarnya” jawab dokter cantik itu.
“Eeemm...iya emang sekarang banyak sekolah yang standar internasional ya...”
“Kamu masih ada kuliah ya Ric?” tanyanya
“Iya bentar lagi Dok, kan sekarang lagi tunggu...kalau dokter, kapan pulangnya?”
“Sebentar lagi, makanya dia kesini jadi sekalian pulang abis ini”
“Dijemput sama papanya Dok?”
“Papanya...” tiba-tiba air muka Dokter Lea berubah, “nggak...saya single parent kok”
“Ups...maaf Dok” aku merasa tidak enak karena sepertinya mengorek kehidupan pernikahannya yang kelihatannya tidak berjalan mulus.
“Hihihi maaf apaan sih...kamu gak salah apa-apa kok maaf” dia mulai tersenyum lagi.
Aku buru-buru mengalihkan topik pembicaraan, kami duduk di bangku batu dekat situ dan ngobrol. Dokter Lea ternyata teman ngobrol yang menyenangkan,sehingga kami cepat akrab seperti teman lama, padahal aku pada dasarnya bukan pria yang supel. Obrolan kami semakin seru, dia bercerita dan terus berkembang hingga tidak terasa setengah jam berlalu, Aroma tubuhnya harum membuat darah lelakiku bergolak keras apalagi mengingat kejadian tadi pagi bersamanya.
“Eeehhmmm...Dok, omong-omong tadi pagi puas ga?”aku beranikan diri aku mengajukan pertanyaan nakal dengan suara pelan
Dia terdiam beberapa saat dengan pandangan ke arah anaknya yang sedang bermain, wah...aku sudah berpikir jangan-jangan dia marah nih. Lalu dia menoleh ke arahku
“Ric...saya sudah tampar kamu...” ketika dia berkata begitu nafasku tertahan karena malu telah bertanya seperti itu, “kalau kamu bukan anggota klub”
Barulah aku lega mendengar kalimat lanjutannya itu.
“Tapi saya kan udah anggota Dok, jadi gimana?”
“Hussshh....jangan omong macem-macem ah, disini ada anak saya tau”
“Kalau di ruang praktek boleh Dok?”
“Saya udah mau pulang Ric” jawabnya enteng, “tapi sebelumnya mau beres-beres dulu, kalau mau bantu saya yuk kita kesana”
Saat itu Albert sudah menghabiskan makannya dan berlari ke arah mamanya dengan manja.
“Albert, you play here for a while ok, mom will be back soon!” kata Dokter Lea sambil berjongkok dan memegang kedua pundak buah hatinya itu, “Sus, main-main aja deket sini, saya mau beres-beres dulu!”
“Iya Bu!” sahut si babysitter, “yuk sini Bert!”
“Yuk Ric...kita bicara di dalam aja!” ajak Dokter Lea setelah mengecup pipi anaknya.
“Albert bye-bye!” kataku pada anak itu yang dibalas senyumannya.
Iblis dalam diriku juga berkata, “I’m going to fuck your Mom for a while Boy...hehehehe!”
Aku mengikuti Dokter Lea yang sudah mendahuluiku di depan. Aku suka MILF satu ini, gaya pancingannya bener-bener cool.

“Kunci pintunya” perintahnya seraya berjalan ke arah jendela dan menutup tirai setengahnya.
Begitu berbalik badan setelah mengunci pintu, Dokter Lea langsung memelukku erat sekali.
“Uuuffff...Dok …”
Tanpa banyak babibu lagi bibir kami langsung berpagutan. Lidahnya yang lincah dan ahli langsung menelusuri rongga-ronga mulutku. Tangannya turun ke bawah mengelusi selangkanganku yang sudah menggeliat dari balik celanaku. Kali ini ia menunjukkan sisi agresifnya dibanding ketika pertama bercinta beberapa jam yang lalu. Sambil masih berpelukan, aku menggeser tubuhnya menuju ke mejanya. Ia menaikkan pantatnya pada tepian meja, matanya menatapku tajam, menantang dan penuh nafsu. Aku tak tahan lagi, kusingkap kaos di balik jas dokternya hingga tampaklah kedua gumpalan daging kenyal putih yang seakan sesak tertutup bra krem. Gumpalan itu tampak lebih menonjol, karena posisi dadanya agak membusung. Kemudian kunaikkan juga kedua cup bra itu sehingga sepasang buah dadanya yang bulat, menonjol, kenyal, putih, bersih tampak seluruhnya di hadapanku. Sepasang putingnya telah mengeras. Tak ada yang bisa kuperbuat selain menyerbu sepasang gunung indah itu dengan mulutku.
“Ooohhh...Ric!” Dokter Lea merintih keenakan ketika kujilati dan kukenyot putingnya.
Aku sadar harus main quickie karena waktu tidak banyak, maka sambil mengeksplorasi payudaranya dengan mulutku, tanganku yang satu membuka celanaku dibantu tangannya. Ia sudah terlebih dahulu mengeluarkan penisku sebelum aku sempat menurunkan celana dalamku membuatku makin tegang aja. Lalu, dengan perlahan dia membantu menurunkan celana dalamku. Celana panjangku telah melorot jatuh ke lantai dan celana dalamku menyangkut di pahaku, penisku sudah mengacung tegak di depan Dokter Lea, ibu muda yang cantik dan sexy itu.
“Kamu yang ajak, jadi awas kalau ga memuaskan ya!” katanya sambil menatap penisku.
“Beres Dok, dijamin!” sahutku sambil menyingkap roknya dan menarik lepas celana dalamnya.
Celana dalam itu pun terlepas dan kuletakkan di meja itu. Dokter Lea membuka kakinya lebih lebar, klitnya pun semakin terlihat jelas, merah jambu dan berlendir, siap untuk ditusuk. Aku langsung menempatkan pinggulku di antara pahanya yang membuka dan kami berciuman lagi. Tangan kananku membimbing penisku mencari lubang sasarannya, akhirnya kepala penisku menempel pada bibir vaginanya yang basah dan mulai kutekan.

“Uuuuuhhhhhh....eeemmmhhh!” rintihnya, padahal baru kepala penisku saja yang masuk..
“Ouufff ...pelan please!” ia menahan dadaku ketika aku menekan lebih keras.
“Oh...maaf Dok! Sori terlalu nafsu”
Aku coba lebih lembut, menusuk pelan-pelan tapi pasti sampai akhirnya penisku tenggelam seluruhnya. Vaginanya memang sungguh sempit, gesekannya amat terasa di batang penisku.
“Eeeehhmmm....enak Dok, sempit, padahal kan Dokter dah punya anak!” kataku sambil menggenjot dengan tempo sedang.
“Aaahh....aaahh...saya kan dulu sesar!”
“Oohh...pantes masih legit hehehehe....”
Tempo genjotanku pun kunaikkan sampai mejanya berderit-derit setiap aku melakukan gerakan menusuk.
“Uuuhh....Ric...kamu sadar siapa yang lagi kamu entot ini? Saya dokter kampus, ibu dari seorang anak! Ini hubungan terlarang...berani-beraninya kamu!” katanya sambil menatapku dengan matanya yang sayu.
“Tapi kan dokter anggota klub...jadi bebas dong ya ga?” kataku sambil terus menggenjot vaginanya sampai ia tidak bisa menahan erangannya sehingga harus menutup mulutnya dengan telapak tangan.
Aku menyingkirkan telapak tangannya dan memagut bibirnya sehingga erangannya teredam. Ketika kurasakan gelombang klimaks itu akan tiba, saatnya mempercepat pompaan. Penisku makin berdenyut-denyut siap memuntahkan sperma. Ketika hendak mencabut penis untuk dikeluarkan di luar guna menghindari ‘kecelakaan’ sepasang kakinya menjepitku menahanku mencabut penisku, tangannya juga memelukku semakin erat saja. Karena memang aku tak mampu menahan lagi, kusemprotkan kuat-kuat spernaku ke dalam vaginanya, sambil mengejang dan melenguh. Dia juga mencapai orgasmenya tidak lama setelah aku sehingga kurasakan kehangatan di bawah sana, cairan orgame kami sudah pasti membasahi meja di bawahnya. Tak lama kemudian, tubuh kami melemas saling berpelukan. Kami dapat merasakan dengus nafas masing-masing yang ngos-ngosan.

“Thanks ya Ric…singkat tapi puas!” kata Dokter Lea sambil membelai pipiku.
“Oh masa?“
“Iya bener...kamu hebat mainnya”
“Ah...Dokter terlalu muji deh, saya biasa aja kok, malah masih kalah liar dibanding dokter”
“Kamu tau Ric, profesi saya menuntut kedisplinan dan ketelitian, ditambah peran sebagai single parent, itu semua gak mudah, stress udah hal biasa” curhatnya sambil mengelus-elus dadaku, “suami gak punya, pacar juga yah setidaknya belum dulu sampai sekarang ini, karena itu Ric, kalau lagi ada waktu senggang di luar itu saya sangat menikmati peran saya sebagai...wanita nakal...yah sangat nakal, dimana saya bisa mengekspresikan hasrat sebebas-bebasnya. Di klub inilah saya menemukan yang saya perlukan, bukan sekedar seks, tapi juga teman”
Tiba-tiba terdengar suara pesan masuk, Dokter Lea mengambil BB dari kantong jas dokternya dan membaca pesan itu.
“Sepertinya kita harus udahan dulu, kamu juga sebentar lagi kuliah kan?” ia melepaskan diri dari dekapanku dan turun dari meja.
“Wah mejanya jadi basah Dok!” aku hendak mengambil tissue untuk membersihkan cairan hasil persetubuhan kami yang berleleran di tepi meja.
“Gapapa Ric, tar saya bersihin, kamu mending cepet beres-beres biar gak telat!” katanya sambil berbenah diri, ia mengambil celana dalamnya di atas meja dan memakainya kembali.
“Lain kali kalau senggang kita bisa main lagi ok” katanya tersenyum “oh ya...saya pakai IUD, jadi feel free aja kalau kita ML”
“Oh gitu”
“Yup...satu anak aja udah cukup repot, jangan sampai tambah lagi, setidaknya belum dulu sampai saat ini” katanya lagi, “terus...ini kartu nama saya!" ia mengeluarkan kartu nama dari dompetnya dan menyodorkannya kepadaku.
Kuterima kartu nama itu. Tertulis nama lengkap beserta gelarnya, Dr. Lea Kumalasari Sp. PD-KGH, di bawahnya tertera rumah sakit tempatnya bekerja dan juga alamat rumah dan nomor HP.
“Spesialis penyakit dalam...KGH nya apaan Dok?”
“Konsultan Ginjal Hipertensi” jawabnya, “O ya, salam buat anak-anak di kost ya!”
“Oke deh...dokter juga kapan-kapan main ke kost dong, ya...ya...!!” godaku sambil memeluk tubuhnya.
“Kamu ini, kan udah saya bilang jadwal saya padat, harus urus anak juga...tapi kalau ada waktu saya coba ke sana sekalian nostalgia!” ia mendorong dadaku pelan dan berjalan ke arah pintu, “O iya, Amel masih kost di situ kan Ric?”
“Amel...mata gede, rambut panjang sedada itu?” aku mencoba memastikan.
“Iya...dia kayanya angkatan kamu deh”
“Masih kok, angkatan atas saya itu sih Dok” jawabku, “emang ada apa sama dia Dok?”
“Ngga...cuma tanya, salam aja buat dia” katanya
 “Ya udah deh, saya kuliah dulu ya Dok....dadah” aku pamitan sambil mencium ringan bibirnya dan meninggalkan ruang klinik kampus dengan hati puas.

Amelia

Sungguh hari yang menyenangkan, aku menuju ruang kuliah dengan hati puas. Beberapa orang sudah menunggu di kelas ketika aku tiba. Setelah menyapa beberapa orang aku mencari tempat duduk dekat jendela supaya dapat udara segar. Aku duduk lalu mengecek BB sambil menunggu si dosen datang.
“Hai kayanya senang banget hari ini!” sapa Amel yang tiba-tiba sudah di sebelah, ia menarik bangku kosong di sebelahku dan duduk di sana.
“Hehe...gokil juga nih” kataku lalu membacakan sebuah status lucu di facebook salah satu temanku.
“Bukannya senang karena kenal sama dokter cantik?” kata Amel lagi yang membuatku agak kaget, “romantis banget di taman tadi, gua kira lu bapaknya anak itu” lanjutnya dengan nada agak sinis seperti biasa.
“Oohhh....itu hehehe...Dokter Lea, itu Indra yang ngenalin, gak nyangka dia anggota klub juga ternyata” kataku, “kita sempat threesome tadi pagi, si Indra tuh yang mulai” aku memelankan suara.
“Wow...jadi sudah sejauh itu, ckk....ckkk...ckk...” ia geleng-geleng kepala.
“Eh iya, Dokter Lea juga titip salam ke kamu Mel, kayanya kalian kenal deket ya?”
“O thanks, tapi gua tolak salamnya!” katanya datar.
“Hah...ada apa emang di antara kalian Mel?” kayanya lu sinis banget nadanya daritadi,” ooo...gua tau, lu cemburu ya hahaha...!”
“Ihhh...apaan sih lu, ngapain juga cemburu ke lu?” wajahnya berubah masam, “please jangan omong sembarangan yah!”
“Eh, sori bukan maksud gitu, emang ada apa sebenernya antara kalian?”
“Ini urusan pribadi gua, sori gua pindah ke belakang, temen-temen gua udah dateng”, lalu ia berdiri meninggalkanku begitu saja.
Aku tiba-tiba jadi tidak enak melihat reaksinya, entah ada apa dengannya dan Dokter Lea, sepertinya ia tidak mau diajak bercanda soal ini. Tak lama kemudian dosen pun datang dan aku mengikuti kuliah seperti biasa, Amel tidak sedikitpun melihat ke arahku selama itu, nampaknya ia marah atau tersinggung padaku yang aku belum mengerti dimana salah kataku sampai dia begitu. Usai kuliah aku masih harus bertanya beberapa hal mengenai tugas pada dosen sementara Amel sudah keluar bareng teman-temannya sehingga aku pun kehilangan jejaknya. Setelah semua selesai, aku berjalan ke parkiran motor, hatiku sedikit galau, tidak enak pada Amel. Aku ingin segera pulang menemuinya di kost dan menjelaskan semuanya.
“Ehhh! Mel!” sapaku merasa senang melihatnya di tangga, “tadi itu...sori...!”
“Udahlah gua bukan mau omongin itu, cuma mau tanya lu ada kegiatan lagi ga?”
“Ga, mau pulang ini, napa emang?”
“Bisa anter gua Ric, ikutin aja petunjuk gua, jangan tanya-tanya dulu”
“Emm...oke, boleh, yuk!” aku agak heran juga dengan sikapnya yang tiba-tiba berubah, tadi marah sekarang minta tolong.

Kami meluncur sampai ke sebuah daerah yang tidak terlalu jauh dari kampus, tapi aku baru pernah menginjakkan kaki ke sini, daerahnya agak menanjak, sepi, dan rumah-rumah di sana keren-keren.
“Ini sih daerah elit!” kataku dalam hati.
“Kita kemana nih Mel?” tanyaku penasaran.
“Depan sana belok kanan” katanya mengarahkan, sepanjang jalan ia tidak bicara apapun selain menunjukkan arah tujuan kami.
“Itu Ric, yang tingkat dua itu, yang ada pohon cemara di depannya!” katanya.
Akhirnya sampai juga kami di tujuan, sebuah rumah yang megah, letakknya lebih tinggi dibanding rumah lainnya. Amel turun dari motor dan memencet bel di sebelah gerbang.
“Rumah siapa nih Mel? Sodara? Temen?”
“Ngga...ini rumahnya om Dedy, di sini kita biasa ngadain arisan bulanan Ric, nanti lu juga diajak kok ke sini, nah sekarang gua ajak liat-liat dulu”
‘Oohh ya...wah baru tau gua Mel, bukannya setau gua mereka tinggalnya di kompleks deket kost kan?”
“Iya, yang satu ini juga, yang ini lebih berfungsinya ke arah guess house,  kalau ada rekan bisnis atau famili mereka dateng biasa tempatin di sini sama ya itu you know lah...yang lain udah cerita kan, tapi kadang mereka tidur di sini juga kok” jelasnya tersenyum tipis.
“Aaah...Non Amel! Ayo Non masuk!” sahut seorang pria setengah baya bertopi yang datang membukakan gerbang.
Aku pun memasukkan motorku ke pekarangan rumah itu.
“Di sini gapapa Pak?” tanyaku.
“Iya gapapa situ aja” jawab pria berpostur pendek tersebut.
“Pak Iqbal...ini Rico, anggota baru...Ric ini Pak Iqbal, penjaga di sini” Amel memperkenalkan kami setelah aku mematikan mesin dan turun dari motor.
“Hehe...anggota baru yah Den” pria itu mengulurkan tangan padaku yang kusambut jabat tangannya, “kalau perlu apa-apa disini bilang Bapak aja yah!” katanya ramah.
“Pak, kita ke dalem dulu yah, ga ada siapa-siapa?” tanya Amel.
“Oh, silakan Non hehee...ga ada siapa-siapa kok hari ini”
“Yuk Ric!” Amel lantas meraih lenganku dan menuntunku ke pintu depan sementara aku masih mengagumi pekarangannya yang indah dan tertata rapi itu.

Pak Iqbal

“Eeennnggg...Non!” panggil Pak Iqbal, Amel pun membalik “anu...kan udah lama” tangannya tanpa malu-malu mengelus pantat Amel yang terbungkus celana jeansnya.
Amel melepaskan tanganku sejenak, lalu ia berpagutan bibir dengan pria itu dengan panasnya. Amel agar merendahkan tubuhnya karena ia lebih tinggi. Mereka beradu lidah di depanku tanpa risih, tangan pria tua itu menggerayangi payudara montok Amel dan pantatnya, adegan itu berlangsung sekitar 2-3menitan.
“Eemmhh...udah dulu ya Pak” Amel mendorong pelan pria itu ketika ia hendak menyingkap kaosnya, “gak sekarang, oke” katanya.
“Hehe...iya deh Non, Bapak ngerti, eh sori Den Rico, kangen soalnya udah lama ga ketemu Non Amel” kata pria itu cengengesan padaku, “silakan masuk aja”
“Dasar...muka ramah tapi mesum juga nih si tua!” omelku dalam hati, panas juga hatiku melihat adegan mereka tadi.
“Mau minum apa Den? Non?” tanyanya dengan tetap tersenyum
“Teh dingin aja Pak, mau apa Ric?”
“Ehh...apa ya, air dingin aja deh Pak, lagi panas nih”
Amel lalu mengajakku memasuki rumah itu. Betapa aku terkagum-kagum menyaksikan interior di dalamnya yang elegan itu. Sebuah piano di sudut, minibar lengkap dengan botol-botol minuman keras berkelas di lemari kacanya, beberapa patung bergaya Eropa maupun Oriental nampak di beberapa tempat memberi kesan eksotis. Di tengah ruangan terdapat satu set sofa lebar dan panjang serta televisi berlayar flat dan lebar dengan permadani berbulu di bawahnya. Wah...jadi disini biasanya diadakan arisan bulanan penghuni kost yang lebih tepatnya pesta Caligula itu, aku jadi tak sabar ingin segera bergabung dalam pesta tersebut.
“Mel, gapapa emang nyelonong masuk ke rumah orang gini?” tanyaku
“Kan gua udah bilang, disini lebih ke guess house, termasuk kita ini yang member orgy club.”
“Ohh gitu, ic...ic deh!” kataku sambil terus mengagumi rumah mewah ini.
“Terus, lu ajak gua ke sini mau apa emangnya Mel?” tanyaku
“Gua lagi pengen berenang” ia melangkah ke belakang membuka sebuah pintu kaca yang lebar, di luar sana terdapat sebuah kolam renang yang berukuran sedang, suasananya begitu teduh dan nyaman dengan pemandangan sekitar yang indah.
“Emang lu bawa baju renang Mel?”
Ia tersenyum dan berkata, “Baju renang? Siapa yang butuh?” habis berkata ia mulai membuka celana panjangnya, kemudian kaosnya.

Aku terpana melihatnya melucuti satu demi satu pakaiannya di hadapanku, ia lemparkan bra krem dan celana dalamnya padaku dan tersenyum melihat reaksiku. Kini ia tidak mengenakan apapun lagi, tubuh polos itu sungguh ciptaan yang agung, sungguh indah.
“Skinny diping...pernah Ric?” aku menggeleng, “oke gua terjun dulu ya!” dengan santai ia menuju ke tepi kolam.
‘JBUR!’ ia menceburkan diri ke air, berenang hingga tengah, lalu berbalik badan ke arahku yang masih terpana.
“Ikutan ga? kok bengong kaya perjaka tingting gitu?” sahutnya.
“Oke...tunggu Mel, tunggu hehehe!” buru-buru aku melepaskan pakaianku hingga bugil dan ‘JBUR!’ aku menyusulnya masuk ke air.
Air kolam sungguh menyegarkan tubuhku setelah seharian kuliah dan di tengah cuaca agak panas ini. Aku segera berenang mengejarnya, ternyata Amel bagus juga berenangnya. Dengan gaya bebas ia dengan cepat mencapai ke ujung sana dan ketika aku hampir mencapainya ia menolakkan badan pada dinding kolam dan kembali berenang gaya bebas ke ujung yang lain.
“Aaaww.!!” jeritnya sambil tertawa-tawa ketika di tengah kolam aku berhasil menyusul dan kutangkap pergelangan kakinya, “Ric...aaahh...tenggelam nih....gglllpp!”
Kutarik tubuhnya turun ke bawah air, kami saling berguling-guling di dalam air. Dalam satu kesempatan aku berhasil memagut bibirnya. Kami pun bercumbu di bawah air selama beberapa saat hingga akhirnya karena kehabisan nafas, kami pun naik ke permukaan.
"Buaaaahhh...." kami ngos-ngosan mengambil udara segar, saat itu kami di daerah dimana air merendam tubuh kami hampir ke leher.
Kami tertawa-tawa dan saling menyiramkan air.
“Non...Den...minumnya Bapak taro sini ya, ini ada kripik singkong juga!” sahut Pak Iqbal dari seberang sehingga membuat kami menengok ke sana.
“Makasih ya Pak!” sahut kami pada pria setengah baya itu.
Pria itu lalu meninggalkan kami berdua di kolam renang. Kudekap tubuh Amel sehingga kami saling merapat satu sama lain. Kuusap rambutnya yang basah ke belakang sehingga dapat lebih jelas menatap wajahnya yang nampak lebih cantik di kala basah seperti ini. Mata kami saling bertatapan sekarang, 10 detik berlalu tanpa berkata-kata. Tatapan kami serasa makin kuat ada sesuatu yang ingin diucapkan dari tatapan mata kami. Kupeluk erat tubuhnya, kurasakan setiap inci kulit di tubuh kami menempel dan bergesekkan. Kehangatan tubuh lembut Amel mengaliri diriku, kurasa ia pun mengalami perasaan yang sama.
“Ric” ia pertama membuka suara
“Iya”
“Gimana kesan-kesan setelah gabung di club?”
“Hhhmm...gimana ya, awalnya pasti rada kaget lah, baru tau ada yang ginian di negeri ini, tapi sekarang mulai enjoy, banget malah”
“Jadi lu udah bisa bedain mana cinta mana seks sekarang?” tanyanya lagi.
“Hhhmm” aku mengangguk

Aku menundukan kepala dan mencium bibirnya yang dibalasnya dengan lembut. Lidahku menjilati bibirnya yang membuka perlahan
“Umhh.” Amel menggelinjang saat lidah kami mulai saling beradu.
Ia memiringkan sedikit posisi kepalanya, dan tangannya merangkul leherku. Ciuman kami pun semakin dalam dan penuh perasaan. Lidah kami saling belit dan bertukar ludah, sungguh nikmat rasanya. Sesekali aku memainkan lidah di rongga atas mulutnya, ia meresponnya dengan menjulurkan lidahnya dan menggesek bagian bawah lidahku. Kedua tanganku di dalam air berada aktif menjamahi tubuhnya. Kuremasi kedua buah pantat Amel dan tangaku yang satunya membelai punggungnya dengan lembut. Aku dapat merasakan gelinjangnya dalam pelukanku, ia juga merabai dadaku dengan jemarinya yang lentik. Percumbuan kami berlangsung cukup lama juga hingga akhirnya aku melepaskan bibir kami dan menatap matanya dalam-dalam.
“Mel...gua say...” kuutarakan isi hatiku padanya, namun sebelum selesai ia menempelkan dua jarinya di bibirku.
“Jangan ucapin itu Ric..please” katanya.
“Tapi ini...”
“Jangan Ric...gua udah dua kali mendapat kata itu atau apapun sinonimnya, lalu gua balas mereka seperti apa yang mereka katakan itu dengan tulus, tapi apa yang gua dapat akhirnya? Semuanya palsu! Mereka cuma mau tubuh gua, seudah dapet mereka bisa seenaknya cari perempuan lain atau duain gua” suaranya sengau seperti mau nangis, “di club juga bisa seenaknya mendapat tubuh, tapi ga perlu pakai cara yang menyakitkan seperti mereka, karena itu gua gabung dan mulai menikmatinya, gua ga butuh kemunafikan, gua ga butuh kata-kata gombal...” ia lalu memelukku erat, terdengar ia sesegukan di dekat telingaku.
Aku terdiam sesaat mencoba mengerti dirinya dan kuelus-elus punggungnya, aku baru sekali mengalami pengkhianatan cinta, ia sudah dua, aku tidak ingin jadi yang ketiga.
“Gua ngerti Mel, pacaran emang berisiko terluka, gini aja, kita bukan pacaran, tapi TTM-an, gimana?” kataku melepaskan pelukan dan memegang erat kedua lengannya, “ya bisa diartiin temen tapi mesra juga bisa teman tapi mesum, jadi sex is only sex, lu bebas sama siapa aja, gua juga gitu, tapi sisanya kita jalani seperti pacaran, kita saling ngasih perhatian khusus? Jadi kalau gua ga akan jadi yang ketiga seandainya kita gak cocok nanti, kita tetap teman seandainya harus pisah nanti tanpa harus meninggalkan luka di hati masing-masing”
Amel diam, matanya terus menatap mataku.
“Seperti Alex sama Sabrina atau seperti Kak Angel juga gitu kan, inget? Kan mereka juga kelihatannya bisa menjalankan” kataku melanjutkan, aku teringat pada Alex si freak itu, sebelum aku tahu semua di balik kost aku sudah merasakan kalau Alex punya hati terhadap Sabrina, walaupun orangnya cuek, beberapa kali aku melihatnya membeli makanan untuk Sabrina atau perhatian lain yang sepertinya sepele seperti bertanya sudah makan atau belum, bagaimana ujiannya tadi, juga pernah beberapa kali menjemput Sabrina dengan motornya. Sabrina juga bukannya tidak menyadari dan ia pernah mengatakan hal itu padaku, tapi mereka belum pacaran resmi, setelah menjadi member club barulah aku tahu hubungan mereka seperti itu.

“Gapapa Mel, lu ga perlu jawab sekarang kalau memang belum siap” aku membelai rambut basahnya melihatnya terdiam terus, aku tidak ingin membuatnya tersudut, “eh...minum dulu yuk, gua ambilin yah!” aku membalik badan hendak berenang ke tepi.
“Ric” ia memanggilku dan meraih lenganku, “lu mau jawaban kan?”
Ia melingkarkan lengannya ke leherku dan menciumku kembali. Kami pun kembali terlibat percumbuan dan saling berpelukan erat penuh perasaan. Tangan kanannya meraba penisku di bawah air. Sementara ciumanku merambat ke telinganya.
“Ahh.. Ric!!”
Setelah puas dengan telinganya, jilatanku mengarah ke lehernya. Tanganku meraih kedua lekukan lututnya lalu kuangkat sebatas dadaku sehingga ia melayang di air dengan payudara tepat di depan wajahku. Tanpa basa-basi lagi aku langsung melumat payudara kanannya,
“Eeemmhhh enak…teruss” desahnya
Kepala Amel mendongkak ke langit. Jilatanku dari bulatan payudaranya mengarah ke putingnya. Lidahku bermain-main di areolanya, lalu melahap putingnya. Kusentil-sentilkan lidahku di puting itu dan menghisapnya sehingga membuatnya semakin menggelinjang.
“Yess disitu… sedot terus, jangan berhentiii…. Uhhh…”
Mendapati respon seperti itu, aku pun semakin bernafsu. Kuhisap puting itu dengan gemas.
“Ke tepi yuk Mel!” kataku setelah puas menyusu selama beberapa saat sampai meninggalkan bekas cupangan pada payudaranya.
Amel mengangguk, aku pun menggendongnya dalam posisi yang masih sama ke tepi, ia melingkarkan tangannya pada leherku sebagai topangannya.
“Duduk Ric, santai aja, sekarang gua yang servis lu!” suruhnya, aku pun duduk dan menyandarkan punggung ke dinding kolam di daerah dangkal itu, “pernah disepong di air?” tanyanya dengan senyum nakal dan memegang penisku yang sudah tegang, aku menggeleng.
Tanpa banyak omong lagi ia masuk ke air dan menangkap penisku dengan mulutnya.
“Uuuuhh!” erangku merasakan penisku dikulum di bawah air sana.
Lumayan lama juga Amel bisa bertahan sampai akhirnya ia mengeluarkan kepalanya dari air dengan nafas sedikit ngos-ngosan.
“Lagi?” tawarnya dengan senyum nakal
“Iya dong, sip banget Mel!” pujiku.

Amel kembali masuk ke dalam dan mengoral penisku. Kunikmati pelayanannya sambil merem-melek dan bersandar santai. Penisku pun kembali tenggelam di mulutnya, terasa hangat dan basah. Amel mulai menggerakan kepalanya naik turun. dan bermain-main dengan kepala penisku. Lidahnya menyapu bagian bawah kepala penisku sehingga sensasi yang kurasakan sangat membius tubuh. Ia memasukan penisku lebih dalam lagi ke mulutnya. Kali ini ia di dalam air sedikit lebih lama dari sebelumnya.
“Wah kuat juga lu Mel” kataku setelah ia muncul ke permukaan.
“Udah yah...udah abis nafas nih” katanya sambil mengambil udara.
Kuraih tubuhnya dan ia duduk dalam dekapanku menyandarkan punggungnya ke dadaku. Kuciumi pundak dan lehernya, tanganku meremas lembut payudara dan menggerayangi tubuhnya. Amel memejamkan mata menikmati perlakuanku dan menggelinjang nikmat. Tangannya membelai wajahku dan tangan satunya meraih penisku. Perlahan ia mulai menggerakan tangannya dan mengocok penisku. Aku mulai terbang akan kenikmatan yang ia berikan padaku.
“Udah boleh gua masukin belum Mel?” tanyaku dekat telinganya.
“Eeemmm” ia mengangguk, “I want you Ric”
Ia menggerakkan tubuhnya menaiki penisku. Kurasakan kejantanku yang digenggamnya bersentuhan dengan kewanitaannya yang basah dan hangat dan mulai memasuki dirinya pelan-pelan. Setiap gerakan tubuhnya memberikan kenikmatan yang tak terlukiskan. Matanya setengah terpejam, mulutnya mengeluarkan desahan menggairahkan. Kami melakukannya dengan lembut dan penuh perasaan karena ini adalah hari jadian kami, kami tidak tergesa-gesa dan ingin menikmati setiap momen ini dengan kenangan indah. Amel bergerak naik turun di atas penisku, kadang memutar sehingga penisku serasa dipijat dan dipelintir. Rintihannya memancing gairahku naik semakin tinggi sehingga kulampiaskan ke payudaranya yang kuremas dan kupilin-pilin putingnya. Di tengah desahannya sesekali Amel menggumamkan namaku. Tangannya kini memeluk leherku dan sesekali membelai pipiku. Pergumulan kami berlangsung begitu lembut dan kami saling menghayatinya. Cukup lama juga kami berposisi seperti ini. Kurasakan genjotan Amel semakin tidak beraturan, kadang cepat dan kadang lambat pertanda sebentar lagi ia akan klimaks.
“Uhhh...gua…. amannn…. hari iniii… Ahhh….ahh….” ucapnya terbata-bata karena erangannya.

Kuraih dagunya dan ia menengok ke belakang, bibir kami bertemu kembali. Penisku berdenyut semakin cepat di antara himpitan dinding vaginanya. Aku merasa sebentar lagi akan keluar. Kusentakkan penisku dengan keras ke dalam vagina Amel. Vaginanya juga berkontraksi semakin cepat dan sesuatu yang hangat dan deras tiba-tiba menyelubungi penisku.
“Aaahh....aaaaaaa!! ia melepas ciuman dan mendesah sejadi-jadinya dengan tubuh menggelinjang
Aku menggeser tubuhnya ke depan sambil tetap kudekap, kini aku bertumpu pada lututku sehingga dapat lebih cepat memacu tubuhku dan segera menyusulnya ke puncak. Gerakanku yang makin cepat menciptakan gelombang riak di sekitar kami sampai akhirnya aku menyemburkan spermaku di rahimnya.
“Uuuugghhh...keluar Mel!” erangku saat mencapai klimaks.
Gerakanku semakin melemah hingga akhirnya penisku yang telah menyusut pun tercabut dari vaginanya. Aku ambruk bersandar di dinding kolam sambil memeluk tubuh Amel yang bersandar padaku. Hening...hanya terdengar suara nafas kami dan desiran air kolam dihembus angin. Kami menikmati sisa-sisa orgasme yang baru saja menerpa dengan saling membelai tubuh masing-masing. Tidak perlu kata-kata, setiap rabaan dan tatapan mata sudah berbicara dengan sendirinya. Bersatunya tubuh dan emosi membuat kami mengerti apa yang dirasakan pasangan masing-masing.
"Ric, lu menyesal kita jadi seperti ini? atau mungkin nanti?" Amel memecah keheningan yang terasa indah ini.
“Nggak Mel...terus terang, waktu dulu kita kerja kelompok itu, pernah terlintas dalam pikiran bahwa gua memang naksir lu. Cuma gua ngerasa ah mungkin perasaan sesaat tertarik ama penampilan fisik aja lah, lagian kan gua masih sama mantan gua dulu. Terus setelah gua ngekost di situ, kita makin sering ketemu, makin sering ngobrol, jujur aja Mel, di situ gua udah mulai ngerasa ada chemistry...” kueratkan genggaman pada tangannya, dan ia membalasnya juga, “cuma gua gak berani bertindak, masih trauma baru putus juga sih, lagian gua pengennya sih cewek yang lebih muda dari gua, jadi bagi gua lu itu seperti kakak atau temen, aneh sih emang sampai akhirnya gua ngerasa fall in...." lagi-lagi aku tidak dapat menyelesaikan kalimatku karena jari Amel sudah menutup bibirku dengan lembut.
“Don't say something you might regret it later, Ric", suara Amel terdengar lirih, "gua ngerti, dan gua juga ngerasain itu, tapi untuk saat ini....like you said, let us be only friend, but a very special friend" 
Habis berkata Amel menarik wajahku ke arahnya sehingga bibir kami berpagutan, ia menciumku dengan lembut, penuh perasaan seakan-akan memberikan seluruh dirinya padaku melalui ciuman tersebut.
"Jangan bertanya-tanya lagi, Ric, biar waktu yang bicara, yang terjadi biarlah terjadi" bisik Amel di telingaku, kami berpelukan erat sekali sampai merasakan kehangatan tubuh masing-masing di tengah dinginnya air kolam.

"Omong-omong, gua haus nih, ah...eh..oh...terus dari tadi sih" Amel melepas pelukan dan tersenyum nakal, jarang-jarang ia tersenyum begitu.
“Eehh....gua aja Mel!” aku memegang lengannya ketika ia bangkit dan hendak menuju ke meja mengambil gelas kami.
Usai menghabiskan snack yang disediakan Pak Iqbal dan menghabiskan minuman kami, Amel mengajakku masuk kamar karena angin di sini mulai besar sehingga takut masuk angin. Setelah mengeringkan tubuh dengan handuk, Amel menggandeng tanganku ke lantai dua.
“Di sini Ric” katanya membuka pintu sebuah kamar.
Kamar itu cukup luas dengan didominasi wallpaper warna krem pada temboknya, sebuah ranjang king size di tengahnya lengkap dengan TV plasma, seperti kamar hotel saja nih. Amel membaringkan diri di tengah ranjang itu dan membuka kedua pahanya sehingga tampak belahan merah di tengah kerimbunan bulu-bulunya. Kugesek bibir kewataniaannya sedikit dengan ibu jariku, dan "Uh.." ia mendesah. Aku lalu menyusupkan kepalaku diantara kedua paha mulusnya, kubuka bibir kewanitaannya dan kujilati perlahan klitorisnya. Amel memegangi kepalaku dan mendesah keenakan
"Oh... Yah...aahh!”
Aku mulai menyedot dan menghisap vaginanya. Lidahku merasakan kedutan-kedutan dari wilayah sensitif itu, ia menjepit kepalaku lalu menuntun tanganku untuk mengerjai dadanya. Kuremas-remas perlahan payudaranya sambil menyedot-sedot klitorisnya perlahan, tangan Amel menjambak rambutku dan menekannya ke vaginanya.
Amel semakin keras meracau dan mendesah, "Terus Ric...terus...lebih dalem!!", ia menggelinjang keenakan dan menekan kepalaku ke vaginanya.
Kujilati klitorisnya, kumainkan lidahku di sana bergerak melingkar-lingkar, naik-turun, dan sesekali kusedot lembut klitorisnya serta gigitan kecil yang membuatnya sesekali menggeliat-geliat. Karena rangsangan lidahku vaginanya sebentar saja sudah  kebajiran dan bibir vaginanya berkedut-kedut. Aroma khas kewanitaan tercium jelas olehku, sangat memabukkan dan merangsang. Lidahku masuk semakin dalam mengais-ngais vaginanya
Amel semakin merasakan arus listrik kenikmatan yang besar. Jilatanku kini lebih fokus pada titik sensitifnya, klitorisnya. Erangan Amel pun semakin menjadi-jadi yang membuatku semakin bernafsu menjilatnya. Kugigit lembut daging kecil itu, ia seperti meledak, dengan rasa nikmat yang ia peroleh. Kemudian kelanjutkan dengan jilatan-jilatan nakal di wilayah itu

“Oohhh Ric...bawa gua ke surgaaa” erang Amel semakin menggila, sepertinya ia sudah mau klimaks
Amel tidak bisa menahan lebih lama lagi. Kepalanya semakin mendongkak ke atas, tubuhnya semakin menggeliat, tangannya semakin menekan kepalaku dan kedua paha mulusnya semakin kepalaku.
“Aaaahhhhhh!!!” Amel berteriak, badanya bergetar hebat.
Vaginanya mengeluarkan cairan cinta yang langsung kuhisap. Setelah reda gelombang kenikmatan itu, ia melepaskan jepitannya dan tangannya, lalu terkulai lemas. Tampak peluh keluar dari keningnya, aku duduk di sampingnya yang masih mengangkangkan selangkangannya. Kuciumi ringan bibirnya dan kuremas-remas dadanya. Vaginanya nampak basah olah cairan kewanitaannya bercampur dengan liurku. Aku berguling ke samping sehingga menindih tubuhnya. Amel memeluk kepalaku dan mendorongnya ke wajahnya sehingga kami berciuman lagi.
“Ayo, mulai lagi dong!” ajaknya yang segera kuiyakan
 Kedua tanganku membuka pahanya lebih lebar, penisnya berhenti di depan gerbang surganya.
“My angel….” bisikku di telinganya.
“Gua bukan angel Ric, angel ga punya nafsu, lu mau gua jadi makhluk kaya gitu?”
Kami tertawa sejenak, “tapi kalau terpancing terus dia akan punya Mel, seperti Lucifer contohnya”
“Oh berarti gua demon dong?” balasnya.
“Gak peduli lu angel atau demon Mel, atau apapun itu, gua akan tetap memilih lu”
“Oke deh...stop talking Ric, fuck me! Puasin gua, gua ga pernah sepuas hari ini”
“As you wish!” kataku seraya menekan penisku hingga melesak ke vaginanya yang sudah lembab dan basah membuatnya merintih dan memperat pelukannya. Kepala penisku terbenam sudah di kemaluannya, kutekan lagi agar semakin masuk.
“Awww....Ric!!” rintihnya
Kutarik pinggulku dan kudorong kembali. Gerakan itu kulakukan dengan lembut. Kedua tanganku memegang pinggulnya. Wajah Amel bersemu kemerahan menahan rangsangan. Aku pun semakin mempercepat gerakannya.
“Ahh… ahhh ahh…” erangan Amel semakin lama semakin menjadi, “masukin..sodok lebih keras… uuhh.”

Kurasakan penisku menggesek g-spot Amel sehingga ia semakin menggelinjang. Cukup lama aku menggenjot Amel dengan posisi ini hingga akhirnya...
“Ohhhh…gua maauuu keluarrrr…aaahh...aahh!”
Belum sempat ia melanjutkan desahannya, aku menggenjotnya semakin cepat. Tubuh Amel makin mengejang.
“AAAHHHH.... AHHHHH...Ric...!!!” erangan Amel begitu keras seakan tidak peduli suaranya mungkin terdengar sampai luar kamar.
Jepitan vaginanya semakin kuat dan berkedut. Aku terus menggenjot vaginanya, penisku merasakan siraman hangat dari dalam vaginanya. Aku baru menghentikan genjotanku ketika tubuhnya mulai melemas lagi untuk memberinya isttirahat sejenak setelah ia mendapatkan orgasme yang kesekian kalinya. Tubuh kami sudah dibasahi keringat, walaupun AC di kamar ini terasa sejuk. Sekitar 30 detik tubuh Amel bergetar lemah dan bagai tak sadarkan diri. Setelah istirahat sejenak, aku membalikan tubuh Amel. Kali ini kami melakukan dalam posisi doggy style. Kuperhatikan punggung Amel begitu mulus tanpa cacat, aku semakin bernafsu. Maka aku pun langsung memasukkan penisnku dan menggenjotnya dengan cepat.
“Uhhh yessssss….Yeesshhh Ric....yes.”
Kupegangi kedua tangan Amel sehingga kini ia hanya bertumpu pada kedua lututnya. Tusukanku semakin dalam dan vaginanya semakin erat mencengkram penisku, sungguh terasa nikmatnya. Setelah beberapa lama, aku melepaskan tangannya, lalu menampar bongkahan pantat Amel yang semok.
“AWW!!”
Amel merasakan perih dan nikmat dalam waktu yang bersamaan. Kali ini yang menjadi sasaranku adalah kedua payudaranya yang bebas menggantung, kedua puting Amel habis kukerjai dengan pelintiran, cubitan, dan gesekan sehingga ia semakin menggila. Tangan kiriku berpindah tempat menggesek klitorisnya. Tubuhnya makin menggelinjang, kurasa ia akan segera kembali klimaks. Tubuhnya ambruk, tangannya tidak kuat menahan. Benar saja, vaginanya berkontraksi lebih cepat dan mengeluarkan semprotan di dalam menyiram penisku.
“Aaaaahhh!” Amel menjerit lagi, tapi kali ini teriakannya tidak sekeras orgasme yang ia dapat sebelumnya.
Amel kembali diterpa gelombang orgasme, ia memejamkan matanya, punggungnya terlihat mengkilap karena keringatnya. Kutarik penisku hingga lepas dan kubalikan tubuhnya sehingga kembali ke posisi telentang. Kulihat nafasnya naik turun seirama dengan naik turun buah dadanya yang dihiasi oleh butiran-butiran keringat yang belum hilang meskipun dihembus oleh hawa AC yang sejuk.
"Ric, gua puas banget!" kata Angel merebahkan kepalanya di dadaku sambil memainkan putingku, “eh lu belum keluar ya Ric” tanyanya melihat penisku yang masih tegak.
“Gapapa Mel, soalnya lu keliatannya dah capek, gua ga mau egois lagian masih banyak waktu kan” kataku membelai rambutnya.
“Jangan gitu dong, kesannya gua berutang ke lu Ric, gini aja, lu tutup mata, nikmati cumbuanku, oke?"

Aku mengangguk dan memejamkan mataku, ternyata dengan mata terpejam terasa lebih nikmat sekali sapuan lidah Amel di seluruh tubuhku, mungkin karena konsentrasiku yang terpusat, apalagi saat jari tangannya yang lembut menggenggam senjataku dan mengocoknya dengan cepat. Aku semakin melayang setengah sadar, semakin lama kocokan tangan Amel pada penisku semakin cepat. Sambil terus mengocok, lidahnya yang basah dan hangat memainkan putingku. Seluruh pergelangan sendiku bagai tertarik dan telah mengumpul di ujung penis. Tidak sampai lima menit saat kocokan tangan Amel semakin cepat, dan ujung dadaku dihisap kuat, seluruh tubuhku bergetar kuat dan muncratlah spermaku, tidak banyak memang sehingga hanya membasahi tangan Amel. Ia beralih ke penisku dan mengulumnya hingga bersih, setelah itu ia menindih tubuhku.
“Sekarang puas kan?” tanyanya
“Puas banget Mel” jawabku mengelus rambutnya, mata kami saling bertatapan, kutatapi lama-lama sorot matanya yang lembut, aku merasakan sesuatu dalam sorotan mata itu, sebuah cinta...cinta yang aneh memang, membuka sebuah lembaran baru dalam kehidupan cinta dan seksku.
Dalam ngobrol-ngobrol pasca bercinta, kami saling menceritakan pengalaman cinta dan awal kehilangan keperawanan kami masing-masing. akhirnya Amel bercerita juga tentang kisah cintanya yang kandas,
“Dia seorang dokter muda Ric, lulusan dari kampus kita juga, mapan dan punya prospek cerah, kita saling cocok satu sama lain, dia udah ngenalin gua ke orang tuanya dan mereka juga welcome ke gua. Jadi gua yakin dialah yang akan menjadi pendamping gua kelak, waktu itu gua masih terlalu naif mengira mereka akrab cuma sebatas rekan kerja...”
“mereka?” tanyaku belum mengerti.
“Perempuan itu...sesama dokter, janda beranak satu yang ga tau diri itu” nada suara Amel terdengar sedikit emosi, “sampai akhirnya gua ngebaca SMS di hapenya terus minta penjelasannya, dari situ gua baru sadar kalau selama ini gua diduain”
Agaknya aku mulai mengerti apa yang terjadi antara Amel dan Dokter Lea. Terus terang aku ingin tahu lebih banyak, tapi kuurungkan niat untuk bertanya lebih lanjut, takut ia marah lagi seperti tadi siang, mungkin nanti kalau waktunya tepat aku akan mendengar ceritanya lebih lanjut. Yang bisa kulakukan sekarang hanyalah menghiburnya, kupeluk erat tubuhnya dan kucium dia dengan ciuman yang penuh kasih sayang, bukan nafsu semata. Tak lama setelah itu, kami pun tertidur berpelukan tanpa sehelai benangpun selain selimut lebar yang menutupi tubuh kami.

##########################

Aku terbangun ketika langit di luar sudah gelap, kulihat jam telah menunjukkan pukul 18.20. Amel sudah tidak di sampingku lagi, tapi di buffet samping ranjang ini sudah terletak segelas air putih. Dengan malas aku menggerakkan tubuhku yang masih terasa penat hingga duduk bersandar di kepala ranjang, lalu kuraih gelas itu dan kuteguk isinya hingga habis. Uuuhh...terasa lebih segar memang.
“Mel...Amel!!” kupanggil namanya namun tidak ada yang menyahut.
“Mana ya dia?” aku bergegas turun dari ranjang mencari sesuatu untuk menutupi tubuhku karena pakaianku semua masih di pinggir kolam.
Aku mendapati sebuah kimono di gantungan baju dekat kamar mandi. Kukenakan kimono itu dan keluar dari kamar untuk mencarinya. Baru saja hendak melangkah turun dari tangga, aku sudah mendengar suara desahan wanita dari ruang tamu. Dengan deg-degan aku mencari tempat mengintip dari tangga berbentuk melengkung itu. Mataku seperti mau copot melihat Pak Iqbal, penjaga rumah ini, tengah berlutut menjilat-jilat vagina Amel, jarinya juga menggesek dan mengorek-ngorek wilayah kewanitaan gadis yang baru jadian denganku itu. Saat itu Amel dalam posisi ngangkang di sofa dan mengenakan kimono pink tanpa dalaman apapun.
“Heeeegggghhh …. ssshhh …sssshhh…” kudengar Amel mendesis-desis dengan nafas memburu.
Tangan kiri Pak Iqbal bergerilya menyusup ke balik kimono Amel dan meremasi payudaranya. Amel tampak menikmati perlakuan Pak Iqbal dengan mata terpejam sambil meremas-remas rambut pria itu. Entah mengapa aku selalu menantikan saat-saat Amel digarap, dikerjai dan disetubuhi secara oleh orang lain terutama orang-orang kasar kelas bawah seperti Pak Iqbal. Tangan si penjaga rumah menarik lepas tali pinggang Amel sehingga kimono itu terbuka.
“Tiduran aja Non!” suruh pria itu sambil berdiri dan membuka celananya, penisnya yang sudah ereksi mengacung tegak begitu celananya dibuka.
Sedangkan Amel kini terbaring telentang di sofa dengan tubuh tinggal memakai kimono yang sudah terbuka itu. Pak Iqbal menindihkan tubuh kurusnya pada Amel yang sudah terbaring pasrah di sofa. Sambil memperbaiki posisi tubuhnya agar senyaman mungkin, lelaki tersebut dengan kedua tangannya membuka kaki Amel dan segera menempatkan badannya tepat berada di tengah, di antara kedua paha mulus Amel yang telah terkangkang itu. Dengan tangan kirinya memegang batang penisnya yang besar itu, lelaki tersebut mulai mengarahkan penisnya ke arah vagina Amel yang siap menyambutnya.

Begitu kepala penis bertemu dengan belahan bibir vagina luarnya, badan Amel nampak bergetar dan kedua tangannya mencengkeram dengan kuat pada sofa, desahan lirih terdengar dari mulutnya. Dengan perlahan-lahan Pak Iqbal mulai mendorong penisnya memasuki relung tubuh Amel yang paling sensitif itu. Seiring dengan masuknya penis Pak Iqbal, mata Amel terlihat membelakak dan rintihan nikmatnya terdengar jelas keluar dari mulut mungilnya. Pria itu menggerakkan pantatnya maju mundur dengan perlahan-lahan, sambil mulutnya mencium bibir ranum Amel. Tiba-tiba dengan suatu sentakan keras, pria itu menekan pinggulnya dan terus mendorong penisnya, sehingga terbenam seluruhnya ke dalam liang vagina Amel.
“Aaahhh!” terdengar jeritan halus kesakitan yang juga mungkin kenikmatan keluar dari mulut Amel.
Selanjutnya pelan-pelan pria itu mulai menggerakkan keluar masuk penisnya, sofa itu berderit-derit karena gerakan dan tekanan tubuh mereka. Kembali rintihan, desahan, dan lenguhan kenikmatan mereka terdengar memenuhi ruangan, semakin lama semakin keras. Tubuh Amel menggelinjang dalam dekapan Pak Iqbal, kadang-kadang terlihat ia mengangkat kepalanya, giginya menggigit bibir bawahnya menahan kenikmatan yang melanda seluruh tubuhnya, kadang-kadang dia menjerit kecil ketika si penjaga rumah menusuk dengan keras. Pak Iqbal semakin cepat menggoyang pantat kerempengnya dan Amel mendesis-desis tak karuan
“Enak Non? Non suka kan Bapak entot kaya gini?” tanya Pak Iqbal sambil terus memacu tubuhnya
“Enak Pak...enak bangetthh...aaaghhhh!”
Tak lama kemudian akhirnya Amel mengejang disertai erangan panjang serta pantatnya tersentak-sentak dan kedua kakinya mengejang kaku. Namun Pak Iqbal masih aktif mengeluar masukkan batang kemaluannya dalam tempo sedang. Terus terang, rasa cemburuku timbul saat melihat Amel bercinta dengan penjaga rumah yang sudah bangkotan itu, tetapi di satu sisi aku juga menikmatinya. Tidak tahan, tanganku memegang penisku yang sudah tegang sejak tadi. Lima menit berlalu pria itu menyenggamai Amel, perlahan-lahan dia melenguh makin tak karuan, gerakanya mulai tak beraturan apalagi Amel juga ikut menggoyangkan pantatnya. Akhirnya dengan satu lenguan panjang, Pak Iqbal memuntahkan seluruh spermanya di dalam vagina Amel. Dia berteriak histeris menikmati puncak orgasmenya.

Beberapa saat kemudian, goyangan mereka mereda dan berhenti, keduanya saling peluk, suara nafas mereka yang ngos-ngosan terdengar olehku. Amel lalu mendorong tubuh Pak Iqbal yang menindihnya, ia membenahi kimononya tapi tidak mengikat tali pinggangnya dan berjalan ke arah dispenser. Diambilnya gelas kosong lalu ia menuangkan air ke situ dan meminumnya. Saat itulah aku turun dari tangga menghampiri mereka. Kulihat reaksi mereka tidak terlalu kaget melihat kedatanganku.
“Hai!” sapaku
“Eh...Den Rico” sapa Pak Iqbal
“Udah bangun Ric?” Amel menengok ke samping dan meletakkan gelasnya.
Tanpa menjawab kuraih pinggangnya dan kubawa tubuhnya ke dekapanku, mata kami saling tatap tanpa berkata-kata, tanganku bergerak melepaskan kimononya dan kulempar ke atas meja ruang tamu. Amel telah bugil dalam dekapanku.
“Kenapa gak bangunin gua malah main duaan aja Mel?” tanyaku dengan menatap tajam matanya.
“Lu tidur lelap banget tadi, gua kasian bangunin lu, lagian kan kasian Pak Iqbal dari tadi cuma jadi penonton kita terus” jawabnya beradu tatapan denganku.
“Main duaan aja kan kurang seru, gimana kalau tigaan Mel” kataku lalu mengangkat tubuhnya.
“Aw Ric! Jahat lu, masa mau ngeroyok gua!” jeritnya manja.

Kuturunkan tubuhnya di sofa di samping Pak Iqbal dalam posisi duduk.
“Ayo Pak! Kita main bareng, jangan malu-malu!” ajakku penuh semangat, lalu melumat payudaranya.
“Hehehe...si aden suka main keroyok ya, Bapak sih ayo aja, udah ngaceng lagi nih!”
Sebentar saja tubuh telanjang Amel sudah digerayangi oleh tangan-tangan kami, lidahku dan Pak Iqbal juga bergerilya menjilati kulitnya yang putih mulus itu. Tangan keriput Pak Iqbal membelai-belai payudara Amel dan memberi tanda agar ia menaiki tubuhnya. Rupanya pria setengah baya ini minta dilayani lagi. Amel lalu menempatkan diri di atas tubuhnya. Mula-mula ia berjongkok di atas pinggang Pak Iqbal dan memasukkan penisnya dengan dibantu oleh tangan kanannya. Setelah penis tersebut masuk, perlahan-lahan ia menaik-turunkan tubuhnya di atas tubuh Pak Iqbal. Pria itu menyambut gerakan Amel sambil meremas-remas payudaranya. Beberapa saat kemudian Amel merebahkan tubuhnya di atas tubuh pria itu. Gerakan mereka semakin cepat, sesekali pantat Pak Iqbal terangkat ke atas, sementara Amel menurunkan tubuhnya dan menekan kuat-kuat hingga penis pria itu menancap dalam-dalam. Kuperhatikan bagaimana penis Pak Iqbal masuk keluar vagina Amel.
“Den Rico, tuh boolnya Non Amel kan nganggur tuch. Gimana kalau dimasuki kontol?” sahut Pak Iqbal
“Ya Ric, gua baru mau usul gitu. Tapi jangan kasar ya!” kata Amel.
Aku pun mengambil posisi. Perlahan-lahan kuelus-elus vagina Amel yang basah oleh cairannya. Jari-jariku kemudian mengarah ke pantatnya. Dengan cairan vaginanya kubasahi lubang belakangnya. Telunjuk jari kananku kumasukkan pelan-pelan ke sana.
“Yaaah gitu Ric, enak tuch…. Lebih dalam lagi!!! Ayoooo!!!!” desahnya dengan suara yang serak-serak basah karena dilanda nafsu.
Jariku masuk makin dalam ke pantatnya membuat gerakan tubuhnya semakin tak menentu. Dengan vaginanya dirojok penis Pak Iqbal dan jariku memasuki pantatnya, Amel berpacu menuju puncak kenikmatan.

“Ric, jangan cuman jari lu dong! Kontolnya juga... ayooo dong!!!” pintanya.
Sungguh gadis satu ini berbeda kalau sedang bercinta dengan kesehariannya yang terlihat alim. Kedua paha Amel kini berada di bagian luar paha si penjaga rumah, membuka lebar-lebar celah vaginanya bagi masuknya pria itu. Kuposisikan kedua pahaku menjepit paha Amel. Kepala penis kubalur dengan air ludahku dan kumasukkan perlahan-lahan ke liang belakang Amel. Mula-mula agak susah, sebab sempit, cairan kewanitaan dan air liurku cukup membantu dalam proses penetrasi anal itu.
“Sssshhhh, ohhhh Ric!” rintih Amel
“Sakit Mel?”tanyaku menghentikan gerakanku karena tidak tega melihatnya kesakitan.
“Rada...udah terusin aja, nanggung dong dicabut...ssshhh!” rintihnya.
Aku pun memasuk-keluarkan penisku ke dalam analnya dengan perlahan. Sedang dari bawah, penis Pak Iqbal masih merojok-rojok vaginanya dengan kecepatan pelan sambil menungguku penetrasi. Amel yang terhimpit berada di antara tubuhku dan si penjaga rumah melayani kami berdua sekaligus mengayuh biduk kenikmatan. Penisku kini telah menancap penuh di duburnya dan mulai bergerak maju-mundur perlahan. Gerakan Pak Iqbal semakin cepat, mungkin tak lama lagi ia akan orgasme. Amel pun semakin liar menggerakkan pinggul dan pinggangnya, apalagi di bawah sana Pak Iqbal menyusu pada payudaranya secara bergantian. Jeritan Amel yang begitu kuat seperti tadi kembali memenuhi ruang tamu. Inilah enaknya bercinta di rumah besar dengan lingkungan sepi seperti ini, suara rintihan dan jeritan kami dari dalam sini takkan terdengar keluar sehingga kami bebas mengekspresikan kenikmatan ragawi ini dalam erangan dan jeritan. Kedua tangan Amel memeluk tubuh tua Pak Iqbal erat-erat sambil menekan tubuhnya hingga dapat kupastikan penis Pak Iqbal masuk sampai pangkalnya, sedangkan penisku kugerakkan berirama ke dalam duburnya.
“Iyah...Ric...aaahh...aaahh...terussshh...enak!!” pinta Amel.
Kedua pundak Amel kupegang kuat sambil menghentakkan penis sedalam-dalamnya ke duburnya. Kami bertiga secara cepat melakukan gerakan menekan. Pak Iqbal dari bawah, Amel di atasnya menekan ke bawah, aku dari atas tubuh Amel menekan dalam-dalam penisku ke dalam duburnya.
“Ooougghh…gua keluar lagi! Ssssshhhhhh …akkkkhhh!!” jerit Amel dengan tubuh menggelinjang.
Kurasakan betapa jepitan duburnya begitu kuat, sama seperti vaginanya tadi, menjepit penisku. Tak berapa lama, Amel berdiri melepaskan diri dari himpitanku dan Pak Iqbal. Ia lalu berlutut tepat di depanku. Semula aku tak mengerti maksudnya. Kuelus-elus punggung, pinggul dan payudaranya dari belakang tubuhnya. Tangan kanannya meraih penisku dan mengarahkannya ke duburnya lagi.
“Wah, masih pengen ternyata?” kataku dalam hati.
Penisku kembali memasuki duburnya dalam posisi kami berdua berlutut. Lalu ia mengisyaratkan aku merebahkan tubuh ke belakang. Aku turuti permintaannya dan dengan penis tetap berada di dalam duburnya, aku berbaring terlentang sedang Amel kini ada di atasku dalam posisi sama-sama terlentang. Ia mengambil inisiatif bergerak menaik turunkan tubuhnya hingga penisku masuk keluar dengan bebasnya ke dalam duburnya.

Dari atas sana, Pak Iqbal bangkit mendekati kami berdua dan kembali mengarahkan penisnya ke vagina Amel. Kini gantian aku yang berada di bawah, Amel di tengah, dan penjaga rumah itu di atas Amel. Desahan, rintihan dan jeritan kami silih-berganti dan kadang-kadang bersamaan keluar dari bibir kami bertiga. Tanganku kumainkan meremas-remas payudara Amel dari bawah, kupilin-pilin putingnya yang sudah mengeras itu. Beberapa saat kemudian, Pak Iqbal melenguh,
“Ayo Non Amel, Bapak mau keluar nih...uuhhh!!!!”
“Tunggu bentar!” kata Amel, dan tiba-tiba ia bangkit hingga penisku terlepas dari pantatnya. Dengan cepat ia tolakkan tubuh Pak Iqbal hingga jatuh terbaring, lalu ia berlutut di antara paha pria itu dan menggenggam penisnya sambil memasuk-keluarkan penis itu ke dalam mulutnya. Sebentar saja, pria setengah baya itu pun memuncratkan cairan sperma mengenai wajah dan mulut Amel, tetapi ia tidak jijik menjilati cairan yang keluar itu. Aku teringat lagi perkataan Pak Kasimun, si penjaga kost, bahwa Amel memang suka menelan sperma. Dengan sabar aku menunggunya menyelesaikan cleaning service.
Tak lama Amel menoleh ke arahku sambil berkata, “Ric, lanjut yuk, masih kuat kan!”
Ia kemudian menungging di hadapanku sambil terus menjilati penis Pak Iqbal yang semakin lemas. Kutempatkan tubuh di belakang Amel lalu kumasukkan kembali penis ke dalam duburnya.
“Ric, jangan main belakang melulu dong, sakit tau, ntar gua jalannya jadi ga enak” katanya. “Eh oke deh, ga main belakang lagi nih” kucabut penisku dari sana dan kumasukkan ke dalam vaginanya yang basah.
Cairannya masih banyak tapi penisku tetap dijepit kuat sewaktu memasuki vaginanya. Penisku pun mulai bergerak maju mundur di dalam gua Risa. Sementara itu tanganku juga terus bergerilya di gunung kembarnya.
"Ahh...Ric...dalem lagi.. Ohh" Amel terus menggelinjang ke sana ke mari.
"Oh.. Oh...gua gak tahan lagi...mau keluar lagi...lebih keras dong... Ohh" erang Amel sambil terus mengocok penis Pak Iqbal
"Ahh.. Uhh.. Uh.. sama...gua juga Mel" lenguhku menahan nikmat
“Aaaaggghhh, nikmatnyaaahhhh!!” jepitan vaginanya begitu luar biasa saat jeritannya terdengar, hingga tak bisa lagi kutahan aliran spermaku kembali memasuki kepala penisku dan keluar tanpa tedeng aling-aling.
“Aaaahhh, Annn ….. gua muncrat Mel!” erangku sambil memeluk tubuhnya dari belakang dan meremas-remas kedua payudaranya.
Kami bertiga lunglai dalam keadaan telanjang, aku dan Amel di atas permadani dan Pak Iqbal di sofa. Lelehan cairan kenikmatan kami bertiga bertebaran di sofa kulit itu, sepertinya itu bukan yang pertama mengingat tempat ini sering menjadi ajang pesta seks.
“Ric, laper ga?” tanya Amel lemah, “gua udah titip beliin makan ke Pak Iqbal, tuh di meja sana  kalau mau makan”
“Belum terlalu sih sekarang, lu aja duluan Mel” kataku sambil meraih kimononya di sofa lalu menutupi tubuh telanjangnya.
Aku mengecup ringan dahinya lalu bangkit berdiri dan memakai kembali kimonoku
“Kemana Ric?” tanya Amel melihatku berjalan ke arah kolam.
“Mau duduk di luar dulu, cari angin sambil ngerokok” kataku sambil melangkah keluar.

Aku keluar ke pinggir kolam, langit sudah gelap, hembusan angin sepoi-sepot menerpa air kolam, suara jangkrik kodok terdengar di kompleks yang jauh dari hiruk pikuk jalan raya ini. Kuraih ceana panjangku yang masih tergantung di kursi santai, kuambil rokok dan lighter dari kantongnya. Sambil duduk bersandar dan menatap langit, aku menghirup rokokku dalam-dalam lalu menghembuskan asapnya. Kehidupan cinta memang aneh, aku sudah jadian lagi, ya aku tidak bisa menutupi lagi bahwa aku mencintai Amel, tapi aku malah bergairah melihat pacarku digarap orang lain. Beberapa saat kemudian kulihat Amel menyusulku, ia sudah memakai kimono pinknya dan rambutnya sudah digulung ke atas, membuatnya terlihat makin cantik. Aku menggeser tubuhku untuk memberinya tempat di kursi santai yang lumayan lebar itu. Ia tersenyum dan duduk di sebelahku.
“Ric, lu cemburu yah gua tinggal sendiri terus gituan sama Pak Iqbal?” tanyanya.
“Nggak kok Mel. Gua cuma gak habis pikir, koq bisa-bisanya kita jadian sementara kita malah cuek ngeliat pasangan kita ML sama orang lain, terus terang Mel...gua kok malah nafsu ngeliat lu gituan sama orang lain” kataku sambil menatap wajahnya.
Amel menatapku sebentar, lalu tiba-tiba ia tertawa lepas, aku suka melihatnya ketika sedang tertawa seperti itu karena selama ini ekspresi seperti itu memang jarang sekali.
“Ric, hidup ini memang terkadang aneh ya” katanya berfilsafat. “sekarang biar kita jalani aja dulu, daripada pacaran, bilang cinta, lalu selingkuh, itu kan nyakitin banget. Omong-omong...gua suka keterusterangan lu. Yang lain boleh aja memakai tubuh gua, tapi hati gua cuma lu yang bisa memiliki” katanya menggenggam telapak tanganku, kami terdiam saling genggam tangan dan menatap langit selama beberapa saaat.
Tangaku baru saja meraih rokok dari asbak di meja ketika ia meraih tanganku dan mengambil rokok itu. Kukira ia mau ikut mengisapnya tapi ternyata ia malah mematikan puntung rokok itu dengan menekannya di asbak.
“Ric...kurangin yah, stop lebih baik, gua gak suka cowok perokok” katanya memegang dadaku, “buat kesehatan lu juga, karena lu itu...my special one”
Aku mengangguk dan mata kami saling tatap lagi. Aku baru tahu, walau sehari-harinya terkesan cuek, Amel begitu perhatian terhadap orang yang ia cintai. Tatapan matanya sungguh menakjubkan mengandung perasaan terdalamnya yang tidak ia ungkapkan lewat kata-kata.

“Eh iya” tiba-tiba ia mengeluarkan BB-nya dari kantong kimono, “smile dong Ric!” ia raih kepalaku mendekatinya dan mengarahkan lensa kamera BB-nya ke arah kami.
“Yah...jelek, lagi-lagi...” ia kurang puas dengan hasilnya dan memotret sekali lagi, “nah ini bagus, foto pertama kita Ric” ia menunjukkannya hasil jepretan keempat padaku, bagus juga walau aku senyumnya agak maksa.
Amel lalu merebahkan kepalanya di dadaku dan jari-jarinya bermain lembut di pahaku.
“Malam ini kita tidur di sini yah!” katanya
“Emang boleh Mel?”
“Sebenernya ga sih, harusnya minta ijin dulu, tapi mumpung Om Dedi sama istrinya lagi ga di tempat, terus Pak Iqbal udah gua kasih jatah tadi, gua pengen malam ini cuma buat kita aja, lu mau kan?”
Aku tidak menjawabnya dengan kata-kata, tetapi mengangkat dagunya dan mencium bibirnya. Ciuman membara yang kembali terjadi di antara kami membuat kami berdua kembali hanyut dalam gelora asmara. Kurasakan dadanya yang semakin kencang ketika kami saling berdekapan. Entah berapa lama kami menikmati ciuman itu. Jari-jarinya bermain di dadaku sedangkan jari-jariku membelai tubuhnya. Ia naik ke tubuhku, kami saling raba dan saling berpelukan erat
“Lu mau main lagi?” tanyanya sambil memandang wajahku.
“Lu gak capek emang Mel?”
Ia menggeleng “Demi kamu, my special one...gua mau lagi,” jawabnya.
Aku hanya tersenyum melihatnya. Ia meraih penisku dari balik kimono dan mulai mengocoknya. Benda itu pun mulai bangun dari tidurnya.
“Udah bangun lagi adik lu Ric” ia tersenyum nakal dan semakin bernafsu.
Tangannya kini bermain-main dengan kedua buah zakarku. Amel merayap turun dengan gerakan erotis hingga berlutut di antara kedua pahaku. Ia kecup kepala penisku lalu mulai menjilati dari bagian kepalanya itu, sisi kanan dan kiri sampai kedua zakarku. Aku menikmati pelayanannya dengan wajah menatap langit
“Ohhh...” aku mendesah
Kedua tanganku memegang kepala Amel menahan nikmat. Sewaktu ia memasukan penisku ke dalam mulutnya, tanganku menekan kepalanya sehingga kulumannya semakin dalam.
“Ahhhh....enak Mel” sekali lagi aku mendesah nikmat.
Amel mengeluarkan penisku dari mulutnya untuk membetulkan posisinya, mengecup sekali lagi kepala penisku, lalu mengulumnya lagi. Kali ini ia membuka mulutnya sampai batasnya. Penisku masuk semakin dalam sampai akhirnya tiga perempat dari seluruh batangan itu tertelan olehnya. Lidahnya keluar dan menjilat bagian bawah penisku. Matanya menatap nakal padaku, sungguh liar sekali. Aku mencoba fokus dan bertahan dari serangan Amel.

Setelah beberapa lama, ia akhirnya mengeluarkan penisku. Kali ini ia naik ke selangkanganku sambil tangannya memegangi penisku yang sudah basah dan keras itu. Sambil satu tangan berpegangan pada pundakku, ia mengarahkan senjataku ke vaginanya. Perlahan-lahan ia menyelipkan batang penisku ke dalam liang vaginanya. Aahh.. aku merasakan kehangatan dan sensasi yang luar biasa saat bibir kewanitaan Amel menghimpit penisku. Pelan-pelan ia menurunkan tubuhnya sehingga penisku melesak semakin dalam, dan akhirnya amblas ke dalam vaginanya. Uhh.. rasanya ketat dan lembab sekali di dalam sana.
"Sshh...puasin gua Ric, please", Amel mendesah di telingaku.
Pelan-pelan ia mulai menaik-turunkan tubuhnya. Ohh... nikmat sekali goyangannya, aku menikmatinya sambil merem melek. Kuraih kimononya dan kupeloroti lewat kedua bahunya sehingga payudaranya terbuka sudah. Tanganku yang meremas kedua gunung kembar itu.
"Aahh.. ahh.. Mel...enak banget", aku merasakan tubuhku akan meledak menahan rasa nikmat yang luar biasa.
Aku menegakkan tubuhku dan memeluk tubuhnya, kuelus punggungnya yang halus, mulutku mengenyoti payudara dan putingnya.
 “Ric, gua udah mau dapet lagi. Turunin gua dong! Sekarang lu yang goyang”
Kuturunkan tubuhnya dan ia mengambil posisi nungging di kursi santai itu dan memintaku memasuki tubuhnya dari belakang. Kuarahkan penis ke vaginanya lalu memaju-mundurkan tubuhku sambil meremas-remas kedua payudaranya dari belakang. Erangan Amel semakin kuat ketika hunjaman penisku semakin cepat masuk-keluar vaginanya. Aku tidak ingat sudah berapa lama kami melakukan itu, ketika tiba-tiba kurasakan dinding vaginanya kembali berdenyut-denyut tanda akan orgasme lagi.
“Terusss...iya dikit lagi...aahhh...aahhh!!!” jeritnya sambil menghempaskan pantatnya kuat-kuat ke arah pahaku.
Cairan kewanitaannya yang hangat mengucur deras, tubuhnya mengejang selama beberapa saat. Aku merasakan kejantananku bagai sedang dipilin dan dihisap oleh sebuah mulut yang amat kuat sedotannya sehingga aku pun tak tahan lagi. Spermaku tumpah mengisi rongga kewanitaan Amel yang sedang megap-megap dilanda orgasme. Kami mengerang dan mengejang merasakan siraman birahi panas yang seperti hendak menerobos setiap pori-pori di tubuh kami sebelum akhirnya terkulai di kursi santai. Kami bersetubuh tidak terlalu lama memang, sekitar seperempat jam, tapi tubuhku terasa lemas karena hari ini terlalu sering orgasme. Kami berpelukan dan berciuman mereguk seluruh kenikmatan dari persetubuhan itu. Selama beberapa saat, kami hanya terdiam sambil berpelukan, saling memandang, lalu berciuman dengan lembut.
“Makan yuk, laper nih!” ajak Amel
Kami pun menyantap bakmi yang dipesan Amel lewat Pak Iqbal sambil ngobrol. Setelahnya dilanjutkan mandi bersama, Amel sungguh mengisi kekosongan hatiku, obrolan kami cocok satu sama lain, kurasakan ia juga merasakan hal yang sama, senyumannya hari ini sejak jadian di kolam tadi nampak begitu lepas dan bahagia. Malam itu kami tidur berdua di kamar berinterior mewah tempat kami memadu kasih tadi tanpa selembar benang pun di bawah selimut yang hangat
"Mel, jujur yah, malam ini gua benar-benar menikmati saat indah bersama lu." kataku membelai rambut panjangnya.
"Gua juga" balasnya.
Sebelum terlelap kami masih sempat melakukannya sekali lagi dengan tempo lembut dan relatif singkat.

#######################
Keesokan paginya, jam delapanan kami bersiap untuk meninggalkan rumah ini.
“Mel bentar dulu, gua kok mendadak sakit perut nih, tunggu bentar ya” kataku, “Pak nanti dulu, mau ke WC dulu saya!” sahutku pada Pak Iqbal yang bersiap membukakan gerbang.
“Yee...bukannya dari tadi, cepetan ya!” kata Amel.
“Iya sori, tunggu aja” kataku sambil bergegas kembali ke dalam.
Aku memang benar mau ke toilet tapi cuma pipis dan setelahnya aku tidak langsung kembali ke luar melainkan mengintip keluar melalui jendela dekat pintu depan. Aku ingin tahu apakah bakal terjadi sesuatu antara Amel dan Pak Iqbal jika kutinggal. Oh my God, seperti yang kuduga, mreka terlihat sedang saling berpelukan mesra. Amel berdiri bersandar pada dinding, Pak Iqbal sedang mencium bibirnya dan ternyata dibalas Amel dengan menundukkan wajahnya karena tubuhnya yang lebih jangkung dari pria itu. Mereka saling berpagutan penuh gairah. Tangan Pak Iqbal mulai merayapi lekuk lekuk tubuh Amel. Kadang tangannya meremas bongkahan bokongnya dan perlahan merayap ke atas dan sampai ke gundukan bukit buah dada Amel dan dengan remasan perlahan tapak tangannya lalu membuat gerakan meremas dan memutar seperti memijat. Kemudian tangan pria itu mulai menyingkap kaos Amel. Amel melepas ciuman sebentar untuk menggerakkan tangannya meloloskan kaosnya lalu ia letakkan di jok motorku. Pak Iqbal lalu menyingkap bra Amel ke atas sehingga tersembulah kedua gunung kembarnya yang putih mulus dengan putingnya yang telah mengeras di wajah pria itu. Dengan perlahan lidah Pak Iqbal menyapu gundukan bukit buah dada Amel dan kadang menghisap perlahan puting Amel. Dari balik jendela kulihat Amel memejamkan matanya dan mulutnya mengap-mengap. Libido Amel telah naik, dia menggelinjangkan badannya ketika pria itu terus menghisap putingnya sambil tangan kanannya menyusup masuk ke balik celana panjangnya mengobok-obok selangkangannya, namun sebentar kemudian pria itu mengeluarkan tangannya dan mulai membuka ikat pinggang dan resleting celana Amel. Wah, gila, pria itu sepertinya ingin menelanjangi Amel,  memang sih pagar tinggi itu berlapis canopy sehingga kegiatan mereka tidak akan terlihat dari luar tapi nekad juga berbuat seperti itu. Timbul semacam bara cemburu yang sangat merangsang hasrat birahiku. Namun aku tidak berniat menghalangi pergumulan mereka. Kecemburuanku itu justru menginginkan agar pencurian nikmat syahwat ini terus berlanjut. Aku justru sangat berhasrat menyaksikan ekspresi wajah pacarku yang baru saja jadian itu digarap pria lain. Aku ingin mendengar erangan nikmatnya saat penis pria lain menghujam-hujam vaginanya. Tanganku mulai meraba selangkanganku memegangi penisku yang telah ereksi. Amel telah telanjang sekarang, sebagian pinggulnya yang putih mulus itu telah berada di dalam genggaman tangan keriput Pak Iqbal. Tangan itu terus mengusap dan membelai paha jenjangnya. Sementara tangan kiri Pak Iqbal kulihat membuka celananya sendiri dan kulihat tangannya mengeluarkan kejantanannya yang ternyata telah menegang dan besar lalu mengarahkan tangan Amel untuk memegang batang penisnya.

Dengan terus berciuman, Amel dengan perlahan memegang batang kemaluan tersebut, dan secara mulai mengurut batangan itu ke atas ke bawah. Keduanya saling memberikan rangsangan kepada pasangan masing-masing. Tak lama kemudian Pak Iqbal mengangkat kaki kiri Amel dan mengarahkan penisnya ke vaginanya. Perlahan didorongnya penisnya yang sudah ereksi lagi masuk ke liang kenikmatan Amel
"Aagh.. yess.. terus masukin Pak..!" aku dapat mendengarkan erangan Amel dari tempat persembunyianku.
Pak Iqbal dengan irama yang teratur memompa vagina Amel, sambil mempermainkan lidahnya di leher dan bibirnya. Desahan Amel semakin berisik terdengar. Kadang mereka saling bicara diselingi ciuman mesra. Aku melongo melihat ekspresi wajah Amel saat diterpa birahi itu, matanya setengah tertutup. Kepalanya terkadang mendongak dan di lain waktu merunduk. Bibir si penjaga rumah tidak henti-hentinya memagut bahu dan payudaranya. Pantat pria itu terus berayun penuh irama dengan sangat indahnya makin lama semakin cepat dan kasar. Hanya dengan melihat ekpresi wajah Amel yang begitu enjoy menikmati genjotan Pak Iqbal, aku mendapatkan sensasi birahi luar biasa yang berbeda dari bersetubuh langsung, terlebih ketika mendengar suara desahan nikmat yang terus keluar dari mulut keduanya. Aku merinding dan darahku bergejolak hebat. Aku merasakan begitu nikmat mengocok kemaluanku sendiri sambil menyaksikan pacarku bermesum ria dengan pria lain. Klub ini memang telah mengubah drastis persepsiku tentang seks dan cinta, sungguh gila namun aku menikmatinya. Sepuluh menit kemudian aku mulai merasakan spermaku akan keluar. Kupercepat kocokanku hingga akhirnya aku pun sampai kepada puncak orgasmeku
Pergumulan antara Amel bersama Pak Iqbal sampai pada puncaknya ketika Amel tiba-tiba mengejang dan mempererat pelukannya pada pria itu. Erangan panjang terdengar dari mulutnya. Tak sampai tiga menit kemudian, giliran Pak Iqbal keluar, dia buru-buru mencabut penisnya dari vagina Amel. Amel pun tanpa diperintah berlutut di depan pria itu dan meraih penisnya yang lalu ia masukkan ke mulutnya. Sebentar saja, pria itu sudah mendesah keenakan sambil menengadah ke atas, sementara Amel nampak berkonsentrasi mengisap penisnya, pasti sperma pria itu telah tertumpah ke mulut Amel. Setelah menuntaskan hasrat birahi mereka kembali berpakaian, Amel terlihat agak rusuh karena seluruh pakaiannya terlepas, sedangnkan Pak Iqbal tinggal membenahi celananya saja. Aku pun menyudahi mengintipku, setelah cuci tangan aku pun kembali ke luar.

Ketika aku keluar Pak Iqbal sedang menyapu halaman depan dan Amel duduk di bangku taman sibuk dengan BB-nya seperti tidak terjadi apa-apa dengan mereka sebelumnya.
“Whew...lega nih” kataku sambil mengelus-elus perut dan berlagak tidak tahu apa-apa, “sori lama, yuk Mel!”
“Oke yuk” Amel memasukkan BB-nya ke tas dan bangkit berdiri.
Kami pun meluncur dengan motorku meninggalkan rumah mewah itu. Ketika berhenti di lampu merah, Amel berkata,
“Ric, waktu nunggu lu tadi...gua gituan sama Pak Iqbal”
“Ooohh...gitu” kataku seakan baru mengetahuinya
“Lu ga marah?” tanyanya lagi.
Aku menggenggam telapak tangannya dan berkata, “nggak, thanks atas kejujuran lu malah, kan seperti komitmen kita kemaren Mel, kita bebas mau sama siapa aja, bedanya cuma hubungan kita lebih khusus”
Kurasakan tangannya yang melingkar di pinggangku memelukku makin erat dan dadanya menghimpit punggungku, ia juga menyandarkan kepalaku di sana. Lampu sudah menyala hijau sehingga aku harus menjalankan kembali motorku. Hari yang tidak terlupakan itu menjadi awal hubungan cintaku yang baru, hubungan yang tidak biasa dan sama sekali berbeda dari hubungan cinta pada umumnya.

Cinta dan Derita sang Mawar liar BUNGA-BUNGA TERAKHIR BUAT ALFI



Hari-hari kami berlalu tanpa mbak Narti. Tak cuma mang Gimin yang merasa kehilangannya, akupun begitu sedih. Hanya mbak Narti-lah yang menjadi temanku sekaligus saudara yang memanjakanku. Setelah kepergiannya, mami segera mendatangkan penggantinya. Tak tanggung-tanggung dua orang sekali gus. Ke dua-duanya berusia paruh baya. Keduanyapun sangat baik dan sopan kepadaku. Namun entah mengapa aku tak bisa mengakrabkan diri dengan mereka seperti halnya terhadap mbak Narti. Yang paling menderita tentu saja adalah mang Gimin. Ia sempat jatuh sakit sehingga tubuhnya semakin kurus. Setelah sembuhpun ia lebih banyak menyendiri dan melamun. Aku sungguh iba terhadap nasibnya. Sebisanya aku menghiburnya dengan membuatkan makanan kesukaannya. Hingga pada suatu hari setelah pulang sekolah. Seperti biasa mang Gimin menjemputku.
"Non ndak les hari ini?"
"Lagi males!” jawabku ketus. 
Saat itu hatiku memang sedang kesal. Bagaimana tidak hari ini adalah hari ulang tahunku yang ke-17 tetapi tak ada perayaan sama sekali, jangankan kue tart, papi dan mami juga tak ada. Mereka bahkan lupa menelponku hari ini hanya sekedar untuk mengucapkan selamat ulang tahun kepadaku.
“Non..”panggil mang Gimin lembut
“Apa!”aku menimpalinya dengan wajah cemberut.
“Selamat ulang tahun, ya. Semoga si non panjang umur dan tambah cantik”
“Arggg!….kok mamaang tahu hari ini Sabrina ulang tahun?” jeritku girang bercampur heran mengapa justru dia yang ingat akan hal ini.
“La iyalah..mamangggg he he he”jawabnya dengan kocak
“Hi hi hi Makasih ya mang Sabrina jadi tambah sayang sama mamang” ujarku kolokan. Terus terang saja aku begitu tersanjung akan perhatiannya padaku meski itu hanya sebuah ucapan selamat ulang tahun saja.
“Eng….mamang mau kasih hadiah ulang tahun buat non”
“Wahh..hadiah apa sih mang?” tanyaku antusias.
"Gimana kalau siang ini kita nyelup aja?" ajaknya 
"Beneran nih mamang?" aku gembira akan ajakannya.
Hasratku memang sudah tak dapat kutahan lagi. Semua itu adalah gara-gara mbak Narti. Sudah dua minggu ini aku terpaksa puasa karena mang Gimin ngambek dan susah diajak bicara. 
"Iya tapi kita tidak bisa ngelakukannya di rumah soalnya ada orang-orang itu.”
Aku baru sadar. Sejak adanya dua orang pembantu baru itu kami jadi tak mungkin dapat melakukan hal itu di rumah seperti dulu lagi.
"Habis bagaimana mangg?" tanyaku agak kecewa. 
Padahal aku sudah berharap sekali dia peting siang itu. Aku sudah kebelet dan kangen pada rasa kenikmatan itu. Dan aku tak ingin menundanya lagi. Vaginaku langsung gatal dan berdenyut-denyut begitu dia mengajakku melakukannya. 
"Non tenang saja. Mamang sudah ada rencana buat kita" ujarnya.

Ternyata, dengan gajinya mang Gimin berniat menyewa sebuah kamar di hotel bintang dua. Sepertinya ia memang sudah merencanakan ini sejak awal buat menyenangkanku. Untungnya ini bukan waktunya orang-orang ngamar jadi suasana di loby hotel sedang sepi soalnya aku merasa risih karena masih memakai seragam sekolahku. Setelah ia mendapatkan kamar kamipun naik ke lantai atas dan masuk ke dalam kamar mungil itu.
“Hi hi hi ga sabaran betul nih?” godaku melihat ia begitu tergesa-gesa menanggalkan pakaiannya. Ia melemparnya hingga berserakan di lantai kamar. 
“Mamang  sudah kangen banget sama non…”jawabnya. 
Sepertinya ia memang tidak bohong. Terbukti benda berurat yang berada di selangkangannya itu sudah berdiri kukuh di antara rerimbunan bulu-bulu kusut yang beruban. Ternyata tanda-tanda ketuannya terlihat hingga ke bagian itu. Ketika aku baru saja selesai melepas sepatu dan rok seragam sekolahku, ia langsung menarik pinggangku sehingga aku terduduk di atas pangkuannya secara berhadapan. Kini posisi dadaku berada tepat di depan wajahnya. Aku dapat merasakan hembusan napasnya yang memburu karena dada tuanya di sesaki nafsu birahi. Sepertinya ia tak ingin membuang-buang waktu. Tangannya segera melepasi kancing blous-ku satu persatu. Berikutnya kaitan bra-ku menyusul ia lepaskan. Begitu bagian atas tubuhku terbuka, secepat kilat mulutnya langsung menyergap puting kiri-ku.
“ARGGHHHHHH…MAMAAANGGGG!” rintihku. 
Giginya yang ompong itu menjadikan setiap kecupan dan hisapannya begitu istimewa. Kedua tanganku langsung meraih kepalanya dan menariknya semakin erat ke dadaku sedangkan ia sendiri merangkul pinggangku. Terasa juga hangat dari penisnya yang terjepit oleh perut kami berdua. Mang Gimin terus saja mengemuti puting payudaraku meski kedua-duanya sudah sangat menegang. Ia memang suka berlama-lama melakukan itu. Mang Gimin punya segudang teknik dalam memberiku kenikmatan melalui aksi meneteknya. Terkadang ia mengisap secara kencang seakan ingin membuat putingku mengeluarkan susu dan saat terlepas ia menggantinya dengan permainan lidah. Kadang-kadang ia menggigit-gigit putingku dengan gusinya yang tak bergigi itu. Atau kepalanya bergerak maju mundur seperti burung pelatuk. Saat maju bibirnya memagut putingku lalu menariknya mundur menjauh ke ambang batas kekenyalan putingku hingga terpental lepas dari bibirnya. ia melakukan itu secara berulang-ulang diiringi suara cplak-cplok. Tetapi jujur apapun yang ia lakukan selalu saja itu mendatangkan jutaan kenikmatan bagiku. Ia memang ‘pandai’ dalam urusan itu. Dan akibat lain dari itu dadaku yang semula hanya berukuran 34b itu kini mengembang semakin besar dan kencang hanya dalam beberapa bulan saja. 

“Manggg...udahan gelii!” erangku sambil memegang ke wajahnya dengan kedua tanganku dan menahannya agar tak lagi menyentuh dadaku. 
Aku tak tahan lagi ia begitukan. kedua putingku menjadi terlalu sensitif. Bila tersentuh rasanya geli  bukan main.
“Kalau gitu mamang maenin yang bawah ajah ya non” balasnya. Aku menggangguk setuju. Lalu ia merebahkan tubuhku dari pangkuannya ke atas kasur. 
“Garrgggggg Mangggggg!!” aku terpekik geli. 
Ternyata mang Gimin kembali menangkap puting yang sudah dalam keadaan sangat sensitif itu. Duh gelinya!! sampai-sampai jemariku mencengkram seprey kuat-kuat.Dasar Si tua ini memang nakal! Padahal ia sendiri sudah tahu jika aku tak tahan lagi dikerjai seperti tadi. Untungnya ia segera melepasnya kembali jika tidak bisa-bisa pipisku muncrat di atas kasur  gara-gara  ulahnya. 
“Aaa..Mamang nakal! Katanya tadi mamang mau gituin yang bawah” rajukku manja.
“He he he maaf ya non. Habisnya mamang masih gemes sama dadanya non yang cantik ini”
“Ah masa sih mang? Bukannya punya mbak Narti lebih cantik dan lebih besar dari punya Sabrina?”pancingku pingin tahu sebenarnya kriteria macam apa yang menjadi kesukaannya.
“Bukan masalah besarnya non. Tapi bentuknya. Punya non bulat dan masih kenyal ndak seperti punya Narti yang sudah kendor”
“Bener begitu?.” Tanyaku ragu. Aku tak tahu ia mengatakan itu secara jujur atau karena ia masih marah terhadap mantan istrinya itu. 
“Lha iya non mana mungkin juga buah lokal ngalahin buah improt!”jawabnya menegaskan.
“Hi hi hi mamang bisa jaah!” Aku tertawa geli mendengar cara ia mengungkapkan hal itu. Tapi pujiannya membuatku tersipu dan merasa bangga setidaknya kini aku sudah bisa mengugguli mbak Narti di sisi itu.
“Mamang terusin sekarang ya non”
Mang Gimin menjulurkan lidahnya menyapu permukaan dadaku lalu turun ke arah perutku. Sesenti demi sesenti kulitku ia jelajahi dengan bibir dan lidahnya. Tak sedikitpun yang ia lewatkan. Layaknya seperti seekor kucing yang memandikan anaknya. Membuat tubuhku yang sudah basah oleh keringat menjadi semakin basah oleh air liurnya. Hingga penjelajahan itu terhenti. Ternyata tujuan akhir itu masih terbungkus oleh pakaian terakhirku, celana dalam bermotif bunga milikku. 

Hanya sepersekian detik saja benda penghalang itu sudah terlempar jauh ke sudut kamar. Aku sendiri yang melakukannya. Aku tak ingin benda itu menunda kenikmatan yang akan ia berikan kepada diriku. Kini tak ada lagi yang menghalangi lidah mang Gimin mencapai ketempat yang sama-sama kami ingini. Yaitu vaginaku.
“Maaaaangggg ayooo!...kok cuma diliatiin!” rengekku tak sabar karena ia belum juga menyentuhku di bagian itu.
“Sebentarrr Noooonn....duhhh canntikknya!...Mamang betul-betul tambah cinta sama nonn”  kudengar ia mendesah lirih. 
Aku juga tak tahu apa sih yang membuatnya suka berlama-lama memandangi bagian itu. Bukankah selama ini dia sudah sering melihatnya. Lagian tak ada yang berubah pada anuku itu.
“Hssssss...maangggg...” aku mendesis saat sapuan pertama melintas cepat secara vertikal di atas permukaan vaginaku. Lalu di susul oleh sapuan demi sapuan berikutnya yang membuat jiwaku melambung keawang-awang. 
Slikk..slepp..slikk...suara erotis itu mengiringi setiap gerakan lidahnya saat menari-nari dengan lincah di dalam rongga vaginaku. Tubuhku meliuk ke sana kemari semakin menjadikan seprey ranjang itu kusut tak karuan. Aku tahu dalam kondisi itu cairan cintaku akan tumpah ruah. Dan aku tahu ia akan menelan setiap tetesnya. Tak menunggu waktu lama buat orgasmeku terjadi.
“OUUUUUUUGHHHHH MAAAAAANGGGG!!” aku memekik nikmat. 
Terjadinya memang begitu cepat dan kuat.  Dan saat itu terjadi Mang Gimin menghisap ‘kacang’ku kuat-kuat. Menjadikan kenikmatan itu semakin tak tertahankan. Kedua pahaku secara reflek mengapit kepala mang Gimin. Pinggulku menghentak. Berayun tak tentu arah. Dan aku sudah tak perduli kain seprey hotel ini bakal robek oleh cengkramanku. Oughhhhh nikmatnya! Rasa geli nikmat itu yang membuatku semakin ketagihan! semakin membuatku butuh padanya! Semakin membuatku  sayang pada mang Gimin sopir tua-ku itu! Lalu semua terlihat memutih....sensasi menyenangkan bercampur rasa ngantuk menyerangku. Itu orgasmeku yang pertama setelah beberapa mingguan puasa gara-gara kasus perginya mbak Narti. Setelah kenikmatan awal tadi berlalu kepala mang Gimin terus berada di selangkanganku. Ia semakin telaten memesrahiku dengan lidahnya hingga dua puluh menit ke depan. Seperti biasanya ia memang tak pernah terburu-buru dalam melakukan keintiman. Setiap tahapan foreplay ia lakukan secara komplit dan sabar. Lidahnya terus meniti gairah yang ada di kewanitaanku. Setiap beberapa menit sekali aku kembali jobol ia buat. Sesungguhnya aku suka sekali saat dia mengerjaiku dengan lidahnya. Apalagi sampai orgasme berulang kali seperti ini.   Hanya saja aku merasa kali ini ia terlalu lama melakukannya dan ini sungguh tak biasa. Selain itu ia juga tak  memberiku kesempatan buat melakukan hal yang sama terhadap dirinya. Seakan ia tak ingin kehilangan fokusnya dalam merangsangku. 

"Manggg udahan dulu jilatnyaa ...... celupinnn sekaranggg!" rengekku tak sabar lagi. 
Aku sudah ia buat orgasme berkali-kali. Dan aku ingin orgasme berikutnya langsung dihasilkan oleh jejalan penisnya yang terbungkus penuh dari pangkal hingga ke ujung oleh  keriput-keriput itu. Mang Gimin-pun mengangkat wajahnya keluar dari selangkanganku. 
“He he he non sudah kangen ama kontol mamang ya?”
“Iya! Cepetann masukinnn!”
Tetapi aku dibuatnya heran ketika ia memintaku tetap terlentang. Dan ia tak mengambil posisi di belakang tubuhku seperti biasanya. Malahan justru mau menindihku.
“Lho mangg, kok?”
“Kita cobain dari depan ya non.” 
“Emangnya kenapa kalau dari belakang?”tanyaku.
“Ndak pa pa sih. Tapi yang pastinya lebih enakan dari depan. Lebih asoooy”
“Bener  mang?” 
“Masa sih mamang bohong? Makanya mamang pingin si non nyobain dulu. Kalau ternyata nanti ndak enak baru kita ganti dengan cara biasa” Ujarnya berusaha meyakinkanku.
“Iya deh mang. Cepetan!” 
Tentu saja aku tak ingin berlama-lama menunda kenikmatan ini sehingga  aku langsung saja menyetujui buat melakukannya dalam posisi baru itu. Terlebih dahulu Mang Gimin meletakan sebuah bantal di bawah pinggulku. Selanjutnya ia menindih tubuhku dari depan seperti yang sering ia lakukan dengan Mbak Narti dulu. Bibirnya langsung memagut leherku yang jenjang.
“Oughhhtt…manggggg” rintihku ketika kurasakan ujung kontolnya maju secara perlahan menusuk dan membelah bibir vaginaku.
Lep! Ia berhasil masuk dan berhenti pada kedalaman biasa. 
“Ouhhh…mamaaaangggg” rintihku nikmat.
Betapa kangennya aku dengan rasa nikmat yang satu ini. Penisnya memang tak tertandingi oleh kelincahan lidahnya. Dan rasa nikmat itu semakin menjadi-jadi saat ia mulai memaju-mundurkan pinggulnya. Clakk Clek! Clak Clek! Suara itu muncul seiring kocokannya. Cairan cintaku semakin banyak meluber keluar dari sela-sela tautan kemaluan kami berdua. Ternyata benar apa yang dikatakannya tadi. Memang lebih banyak kesenangan bila ia memesraiku dalam posisi berhadapan seperti saat itu ketimbang melakukannya dengan cara biasa. Kami jadi lebih leluasa berciuman. Dan ia bebas menetek secara bergantian pada kedua payudaraku disepanjang keintiman itu. Dan itu semua semakin mempercepat proses orgasmeku.
“Mamangggg sayangggg…Sabrinaa sudah mauu dapetttt…Oghhhhh” rintihku.
Dia juga tahu itu! Kocokannya semakin ia percepat namun tak sampai membuat penisnya hanya tertanam nyaris sepertiga bagian itu terlepas dari vaginaku. Memang tak mudah tapi mang Gimin mampu melakukan itu secara konsisten. Hanya dalam tempo beberapa detik kemudian aku mendapatkan orgasmeku.

“AAARRRGGGHHHHHH!!!” pekikku membahana. 
Nikmatnya sungguh tak terkira. Begitu kuat! Begitu mengguncang! Lunas sudah penantian panjangku selama beberapa minggu ini. Kenikmatan seperti inilah yang sangat kudambakan.
“Ohh mamangg...”bisikku lirih setelah orgasme hebat itu usai. Napasku masih terengah-engah. 
“He he he Gimana? Benar lebih enak kan?” tanyanya menegaskan bahwa dia tidak bohong.
Aku menggangguk.
“Non Sabrina suka sama kontol mamang?“
Aku kembali mengangguk. Tentu saja! Biar keriput aku suka. Biar item aku juga suka. Pokoknya aku cinta sekali sama penis tuanya. Lalu permainan cinta itu berlangsung lagi semakin membara. Tetapi suatu yang tak biasa kembali terjadi. Kami bercinta sudah selama satu jam-an dan aku sudah enam kali mendapat orgasme. Namun mang Gimin belum satu kali-pun muncrat. Dari wajah keriputnya yang sudah begitu pucat ituaku tahu ia sengaja menundanya. Selain itu akupun dapat merasakannya dari denyutan penisnya yang telah mengembang penuh itu di dalam jepitan mulut vaginaku. 
“Mamangg..kenapa di tahan-tahan pipisnyaa?” tanyaku heran kenapa ia mati-matian dengan sekuat tenaga bertahan dari desakan kenikmatan itu.
Sesekali akupun dapat merasakan gemetar dari tubuhnya yang kurus itu.
“Sebentar lagiii ajaa nonnn..biar tambah asooyy heggg” jawabannya.
Banyak sekali keganjilan yang terjadi siang itu. Aku juga merasa ia berusaha mencicil-cicil penisnya masuk lebih jauh dari biasanya hingga beberapa kali aku meringis kesakitan. 
Namun aku tak terlalu memperdulikan semua itu. Yang lebih mendominasi diriku adalah kenikmatan demi kenikmatan yang ia suntikan kepadaku. Yang semakin lama menjadi semakin menggila saja.
“N..ooon..”tiba-tiba ia memanggilku dengan suara serak di tengah kemesraan yang membuncah itu.
“I.iyaa mangg...semprotinnn sekarangg ..Sabrina jugaa sudahh hampirrr deapettt lagii” 
Saat itu kupikir ia sudah akan melepas ejakulasinya dan memintaku bersiap menerima semprotan nikmatnya. Sementara diriku sendiri sudah merasakan jika orgasmeku segera tiba lagi. Sebuah orgasme yang lebih enakdari sebelumnya.
"Nonn...”panggilnya lagi
“Iyaaa...mangg”
“Kita..kitaa....entotan yuk" bisiknya lirih dan tergagap. 
“Nge...ntott Manggg?”Tanyaku kaget sambil memandang wajahnya. Matanya menatapku lekat-lekat.
“Iyaaa noon..Mamang nyelupnya sampe ke dasar. Mamang mau muncratinnya pas penis mamang mentog di dalem nonoknya non. Mau ya nooon?” Suaranya bergetar menandakan napsunya semakin tak terbendung. 
“Manggg Janggannn. !…Sabrinaa tidakkk mauuu!” jawabku tegas. 
Aku suka akan kenikmatan-kenikmatan itu tapi aku juga tak ingin berbuat lebih dari yang pernah kami lakukan. Apalagi sampai harus menyerahkan keperawananku padanya!

“Ndak pa pa noon....ntar juga non ngerasain yang lebih enak dari sebelumnya..mamang masukin sekarangg ya non” Ia mengatakan itu sambil memajukan pinggulnya secara perlahan membuat ujung penisnya masuk agak jauh ke dalam.
“AWWW!!..Sakit! 
Dari situ aku tahu ia bersungguh-sungguh akan melakukan niatnya itu.
“Mangg Cabuuuttt!!...Sabrinaa gaa mauu!!”
Aku-pun meronta berusaha agar terlepas dari tindihan tubuhnya. Tetapi mang Gimin dengan sigap mencekal pergelanganku dengan erat. Lalu ia pentangkan kedua tanganku di sisi kepalaku sehingga aku benar-benar tak berkutik di bawah tindihannya. Penisnyapun sejak tadi sudah dalam posisi terbaik. Terjepit hingga sepertiga bagian di dalam vaginaku. Menunggu pemiliknya menentukan nasib bagi duapertiga bagian sisanya. 
“Manggg jangaannn nodai Sabrinaaa.. huu huu” mohonku dengan memelas padanya. 
Sadar jika aku akan ternoda air mataku mulai tumpah di tengah kecemasan dan keputus asaan yang melanda hatiku. Aku cuma berharap pada detik-detik terakhir ia masih mau mengurungkan niatnya itu. 
"Mamangg tidak kuat lagii, nonn. Mamangg entot non sekarangg!!...” 
Ternyata harapanku saat itu sia-sia.Mang Gimin sudah menekan.....
“Maaaanggg Sakiiiiiiiiiiiittt!!!” pekikku saat rasa sakit semakin menyengat kewanitaanku.
Tak ada yang bisa mencegahnya saat itu.
“Oughhhh!Perett tenannnn! Enakkk ! Rapettt!!"
Sambil meracau keenakan ia terus masuk. Selaput daraku sempat menahan terjangan penisnya beberapa detik sebelum akhirnya terkoyak dan menyebabkan rasa nyeri luar biasa  di dalam kewanitaanku. Bleeeeeesss!!
“AWWWWWWWWW..!!!” aku terpekik kesakitan. 
Seketika itu penisnya meluncur dengan mulus memasuki area kewanitaanku yang selama ini belum pernah ia singgahi. Dalam hitungan detik aku merasakan ia  melepas ejakulasinya yang ia tahan-tahan sejak tadi. CROOOOOTTTT!!!
"ARRRRGHH NONOOOK!!!!” mang Gimin membentak jorok tanpa sadar. 
Belum pernah kudengar ia jorok seperti itu sebelumnya. Kupikir ia tak dapat lagi mengontrol ucapannya di tengah kenikmatan dasyat yang ia peroleh dari liang perawanku. CRROOOTTTTTTT!!! .....CROOOOOTTTT!!!!!
“ARRGGGHHHH !!!NONOOK!!!” 

Mang Gimin terus meracau jorok sambil menghentakan pinggulnya belasan kali menuntaskan sengatan kenikmatan yang menderanya. Meski sakitnya luar biasa namun tak urung kenikmatan yang begitu kental yang telah di susupkan mang Gimin sejak tadi akhirnya  meletup juga. Syaraf kenikmatan yang berada di sepanjang liang senggamaku yang dilalui oleh batang penisnya langsung berkontraksi dengan begitu kuatnya. 
“ARRGGGHHHHHHHH!!!!!....” giliranku yang terpekik kuat.
Kenikmatan kali ini sangat luar biasa. Hingga aku tak lagi dapat mengungkapkannya dengan kata-kata. Kenikmatan yang mampu merubah penolakanku tadi menjadi sebuah penerimaan total. Tanpa sadar aku mendekap tubuhnya erat dengan kedua tangan dan kakiku. Lenganku kurangkulkan di lehernya sementara itu kedua kakiku kusilangkan di pinggangnya. Membuat dirinya seperti sebuah guling dalam dekapanku. Membuat tubuh kami bersatu tanpa jarak dan pembatas lagi. Akhirnya tubuh tua itu ambruk di atas tubuhku. Kami berdua tak sadar beberapa saat setelah mengalami orgasmedasyat barusan. Ketika segalanya usai. Akupun tersadar apa yang telah terjadi. Hatiku tercekat oleh rasa kuatir. Di saat itulah kurasakan pegangannya pada kedua lenganku sudah terlepas. Pada kesempatan itu aku langsung mendorong tubuhnya sekuat tenaga hingga terlentang di sebelahku. Plopp! Penisnya tercabut lepas dari vaginaku dengan menyisakan rasa nyeri. Aku dapat melihat dengan jelas cairan lendir berwarna merah yang menyelimuti permukaan penisnya hingga ke bagian jembutnya yang beruban itu  Aku yakin sekali  itu adalah darah keperawananku yang bercampur dengan pejuhnya. Cairan yang sama juga mengalir keluar dari vaginaku dan menodai kain seprey di sekitar selangkangku. Sadar aku benar-benar telah ternoda. Tangiskupun pecah! Aku menangis sejadi-jadinya menyesali keperawananku yang direngutnya tepat di hari ulang tahunku yang ke-17 itu. Aku tak pernah siap untuk yang satu ini. Dan ketika hal itu terjadi hatiku galau sekali. Aku sangat takut membayangkan kemarahan mami kepadaku. Aku takut karena tak ada seorang pemudapun yang kelak mau menjadi suamiku.Aku takut…dan aku sungguh takut. Ketika melihat aku menangis mang Giminpun seakan baru tersadar akan perbuatannya padaku.
“Non….Maafkan mamang ya....” bisiknya lembut  berusaha menghiburku.  
“Hu huu huu mamangg jahatt!Kenapa mamang tega menodai Sabrina?!” pekikku kesal sambil memukuli dada keriputnya.
“Mamang ngaku salah. Sejak dulu mamang memang kepingin entotan sama non. Tapi Narti selalu melarang mamang. Katanya si non belum siap buat itu.Sudah hampir satu tahun-an mamang menahan keinginan tersebut. Dan...tadi itu mamang sudah tidak kuat lagi. Mamang pikir non juga sudah pingin...ndak tahunya...hhhhhh. Tetapi mamang siap bertanggung jawab atas semua kesalahan yang mamang perbuat pada non. Mamang akan nikahi non” 

“Enak saja mamang ngomong! Sabrina ngga mau kawin sama mamang! Mamang tidak mikirin masa depan Sabrina! Mamang jelekk!!. Sabrina benci sama mamang!! Huu Huu” pekikku sambil mendorong tubuhnya menjauh dengan sekuat tenagaku. 
Lalu aku menumpahkan semua rasa kesalku dalam tangis. Mang Gimin menghela napas. Wajahnya murung mendengar ucapanku.
“Baiklah…. Mamang terima kalau si non memang benci dan ndak mau memaafkan mamang.”
“Ahhhhh!!! Sabrina ngga mau denger lagiii! Sabrinaaa benciiii..benciiii!! huu huu huu” aku berteriak sambil membekap telingaku dengan kedua telapak tanganku. 
Mang Gimin tak berani lagi berkata-kata. Kepalanya menunduk dengan wajah kalut. Lima belas menit berlalu tangisku sedikit mereda. Kini suasana kamar tak lagi seramai tadi hanya terdengar segukanku. Tetapi kemarahanku terhadapnya tetap membumbung tinggi. Kami berdua tak lagi berkata satu sama lain. Masing-masing tenggelam dalam pikiran. Entah apa pula yang sedang dia  pikirkan! Aku sama sekali tak ingin tahu. Aku merasa muak dan tak ingin berlama-lama lagi di tempat ini. Kuraih pakaianku yang tercecer. Lalu memakainya kembali satu demi satu tanpa membersihkan diri terlebih dahulu.Duh! Ngilunya! Keluhku saat berusaha memakai celana dalamku. 
“Non..? udah mau pulang?”tanya  binggung dan belum tahu harus berbuat apa saat melihat diriku bergegas berpakaian. 
“Ahhh!! Bodohh!”
Aku tak ingin pulang bersamanya. Aku tahu ia pasti bakal menghalangiku pergi sendiri. Namun sebelum sadar dan ia mencegatku,  aku sudah lebih dahulu pergi keluar dari kamar meninggalkannya sendiri. 
“Noonnn! Tunggu mamang!” panggilnya.
Aku terpaksa berjalan tertatih-tatih karena rasa sakit di selangkanganku menghalangiku untuk lari. Sesampainya di pinggir jalan aku langsung naik ke dalam sebuah angkutan umum yang kebetulan sedang stop di situ.Kulihat mang Gimin muncul dari arah lobby dengan terengah-engah tapi sudah terlambat baginya buat menyusulku sebab angkot yang kutumpangi sudah bergerak menjauh.

Dari situ aku tak langsung pulang. Aku mampir di sebuah mall. Aku sengaja tak ingin bertemu dengannya di rumah. Di sebuah cafe aku duduk merenung. Pikiranku masih terus dibayangi oleh kekuatiran. Hatiku masih kalut sekali. Dapat kubayangkan bagaimana hebohnya malam pernikahanku kelak ketika calon suamiku mendapati aku sudah tak perawan lagi. Bagaimana murka dan malunya mami karena anak gadis yang ia yakini mampu menjaga kehormatannya itu ternyata tak berbeda jauh dengan seorang pelacur. Semua kekuatiran  itu semakin menumpuk rasa kecewa dan marahku pada mang Gimin. Salahku sendiri telah memberi peluang kepadanya selama ini. Seharusnya aku tak boleh percaya  jika orang seperti dia  akan menjaga komitmen yang kami telah kami sepakati. Hiiiiii!! Untungnya aku tidak sedang dalam kondisi subur. Tak dapat kubayangkan jika aku sampai hamil olehnya. Kapok! Kapok sekali rasanya! Lalu bagaimana aku harus bersikap kepadanya setelah ini? Kupikir sebaiknya aku menghentikan semua ini dan tak usah bertemu lagi dengannya. Aku harus bisa mencari alasan yang masuk akal ke mami agar bajingan tua itu secepatnya dipecat!. Sorenya setelah cukup menenangkan diri aku baru pulang ke rumah. Kulihat mobil yang biasa dipakainya buat menjemputku tak nampak di garasi. Kupencet bell. Pas ketika gerbang pagar dibuka dari dalam. Tiba-tiba mobil mang Gimin datang. Ia bergegas turun dari mobil dan dengan tergesa-gesa menghampiriku.
“Aduhhh nonnn..kemana sajaa...mamaangg kuatir sekaliii..”ujarnya. Raut kecemasan membias di wajah tuanya.
“Minggir!!” tubuh tua itu kudorong sehingga ia ke jatuh ke tanah. Aku berlari masuk ke dalam rumah. Masih sempat kudengar salah satu pembantu baruku yang membukakan pagar tadi bertanya kepadanya.
“Ada apa sih kang?! Kok nona kita sampai murka begitu?! Pasti situ telat jemput lagi ya? Waduhhh kalau nyonya besar sampai tahu, beliau pasti marah-marahi lagi! Ntar kalau nyonya besar nanya, kakang jelasin saja sendiri. Kita-kita ndak mau ikut-ikut kena murkanya nyonya besar!”
Mang Gimin diam tak menjawab.

###########################

Besoknya, pagi-pagi sekali aku sudah berangkat ke sekolah. Tapi aku  tak ingin diantar olehnya lagi. Jadi aku terpaksa naik angkot. Begitupun saat pulang sekolah. Meski ia tetap datang menjemputku aku bersikeras tak pulang bersamanya. Aku langsung melompat ke dalam sebuah angkot. Kulihat mobilnya berjalan mengiringi kemanapun angkot tersebut membawaku. Seperti kemarin aku tak langsung pulang ke rumah. Segaja aku berhenti dan berpindah-pindah angkot dengan tujuan membuatnya semakin panik. Dari wajahnya terlihat sekali begitu bingung dan kuatirnya dia saat memastikan aku turun atau tidak setiap kali angkot yang membawaku berhenti. Terakhir aku sengaja mengambil angkot yang berada berseberangan jalan dengannya. Tiba-tiba... Bruaaaakk!  Aku sempat menoleh ke sebrang jalan. Kulihat sebuah  gerobak buah sudah terguling sementara isinya bertumpahan di trotoar. Ternyata mang Gimin  menabrak gerobak milik pedagang buah dipinggir jalan. Gara-gara terus-terusan memperhatikan diriku konsentrasi mengemudinya terpecah. Tentu saja si tukang buah malang tersebut tak membiarkan ia berlalu begitu saja. Si Tua itu terpaksa menyelesaikan masalah yang baru di buatnya itu terlebih dahulu sebelum memikirkan diriku. Rasain! Makan tuh jelek! Umpatku dari kejauhan.Dan kuyakin ia semakin panik karena kehilangan jejakku dan seperti kemarin setelah ini ia akan mencariku ke sana kemari tanpa arah tujuan yang jelas. Aku merasa cukup puas melihat hasil pembalasanku padanya hari ini. Tetapi anehnya terbesit juga rasa kasihanku melihat si tua itu pontang panting. Duh! Kenapa aku ini?.Kenapa juga aku mendadak merasa rindu kepada si tua jelek itu! GrrraH! Ini tak boleh terjadi! Ujarku mencoba menguatkan tekatku. Perasaanku tak boleh terhanyut oleh wajah memelas tuanya itu!. Semua itu hanyalah topeng. Dia itu adalah penjahat yang telah merusak masa depanku!.  Dan dia harus diberi pelajaran yang setimpal atas kejahatan yang ia lakukan padaku. Yang barusan itu belum seberapa. Dia harus merasakan pembalasanku yang lebih dasyat. Sehingga membuatnya tahu apa sebenarnya yang di sebut sebagai penderitaan!. Dan puncaknya saat mami pulang nanti.  Dia harus dipecat!

#######################
Hari minggu pagi yang cerah di sebuah taman kota. 

Taman ini begitu luasnya dihiasi beberapa kolam besar. Pohon-pohon besar menjadikan kawasan ini bersih dan asri. Banyak sekali orang yang datang dengan mengajak serta keluarganya buat berolahraga sambil  berekreasi. Hal itu juga dimanfaatkan oleh beberapa pedagang buat menawarkan rupa-rupa makanan dan minuman. Aku duduk di bawah sebuah pohon flamboyan yang rindang setelah dua jam-an melakukan joging. Duh sial betul! Umpatku ketika kurogoh kantung hotpant-ku. Ternyata aku lupa menyisipkan uang buat membeli air minum. Padahal tadi sudah kupersiapkan. Mungkin tertinggal di atas meja. Biarlah nanti saja minumnya toh aku tak begitu haus. Sebaiknya aku duduk saja dulu di sini. Sambil beristirahat jemariku mengutak atik tombol hp-ku. Membalas sms mami. Aku begitu asyik hingga tak menyadari seseorang sudah berdiri di dekatku.
“Non... ini minumnya”
Aku mendongak. Ternyata orang itu Mang Gimin. Ia menyodorkan sebotol air mineral kepadaku sambil cengar-cengir. 
Huh! Ngapain juga ia ikut-ikutan kemari?!. Bikin orang makin sebal saja. Sebenarnya aku joging pagi ini juga ada kaitannya dengan dia. Entah mengapa sejak dinodainya hari itu aku bukan hanya membencinya namun juga selalu terbayang akan dasyatnya orgasme yang menderaku saat itu. Jika sudah begitu kemaluanku mendadak berdenyut-denyut dan terasa gatal sekali. Celanaku menjadi basah oleh cairan yang memancar dari dalam kewanitaanku. Yang lebih menyebalkan lagi tadi malam aku sampai-sampai mimpi berintim dengan mang Gimin. Oleh karena itu aku sengaja berolahraga pagi ini buat mengalihkan pikiranku yang sedang kacau. Tiba-tiba saja terbetik sebuah  rencana buat mengerjainya. Aku bangkit dan meninggalkan tempatku membaca tadi. Namun hp-ku sengaja kutinggalkan di sana. Lalu bergegas menuju ke dalam sebuah WC umum yang tak jauh dari situ.
“Lho nonn? ...Noon..hp-nya ketinggalan?!” Kudengar ia memanggilku namun aku tak ingin menanggapi. 
Ia memungut hp-ku dari atas rumput. Tetapi kutahu ia tak akan menyusul diriku ke dalam WC perempuan. Kuintip dari celah pintu ia masih duduk di situ sambil memegang botol airminum dan hp-ku. Kusengaja berlama-lama di situ. Ketika ia lengah aku menyelinap keluar dari WC itu dan menjauh dari situ. Tak jauh dari situ kulihat sekumpulan pemuda sedang nongkrong makan mie gerobakan. Bagus! Ini sesuai sekali dengan rencanaku.

“Tolonggg bangg!.... tolooong!” aku langsung menubruk salah satu dari mereka dengan memasang wajah ketakutan.
“Eng a.adaa apaa?“ tanya pemuda itu tergagap. Hi hi Kukira ia grogi karena berhadapan dengan seorang cewek indo yang sangat cantik.
“Handphone saya bangg!....handphone saya di jambret!” lanjutku.
“Hah?! Di..manaa neng?” Pemuda yang lain-pun langsung berdiri dan meletakkan piring mereka.
“Di situu bang, di dekat kolam sana. Orangnya juga belum kabur jauh. Mungkin masih berkeliaran di dekat WC”
“Ayo neng tunjukin ke abang yang mana orangnya!”ujar seseorang dari mereka begitu bersemangatnya. Dasar buaya! Apakah dia akan sesemangat itu  jika saja yang minta pertolongan adalah seorang nenek-nenek?! Huh!.
“Tet..tapii bang saya takut soalnya dia sudah sejak kemarin-kemarin ngincar saya”ujarku berkelit.
“OK! Kalau gitu tunjukin saja ciri-ciri orangnya dan si neng tunggu saja di sini. Biar kita-kita yang beresin.”
Aku menjelaskan secara garis besar perawakan mang Gimin kepada mereka.
“Oya bang, Hp saya itu berwarna coklat!” tambahku. Setelah merasa cukup info dariku merekapun pergi.
Yes! Sempurna. Meskipun hatiku diliputi rasa dendam namun begitu kuanggap permainan yang kulakukan ini tidaklah berbahaya. Dan aku yakin Mang Gimin pasti tak bakalan diapa-apakan oleh mereka. Begitu si tua keropos itu mengaku maka masalahnya bakal langsung selesai. Aku hanya ingin para pemuda itu membuatnya sport jantung. Dari kejauhan aku memperhatikan drama yang kusutradarai tersebut berlangsung. Jelas dengan mudah mereka menemukan mang Gimin. Lalu dengan cepat mereka berempat menggelilingi mang Gimin. 
“Hi hi hi Rasakann! Kena kau sekarang bajingan tuir!” umpatku dalam hati.
Aku mencoba berusaha mendekat agar aku bisa mendengar suara percakapan mereka dan dapat melihat wajah tua itu saat ketakutan namun aku tak boleh terlihat baik oleh mang Gimin atau oleh keempat pemuda tadi. Sampai jarakku yang cukup dekat dan kudengar salah satu dari mereka berbicara membentak-bentak akupun berhenti dan mengintip dari balik sebuah pohon. 

“Sudahlah pak!Kenapa tak mengaku saja dan bapak kembalikan saja hp-nya itu sehingga bapak tidak dapat masalah!”ujar seorang ibu ikut menasehati. Ternyata kehebohan itu membuat beberapa orang yang lalu lalang ikut-ikutan nimbrung.
Hei! Sepertinya ada yang terjadi diluar skanorioku. pikirku  
“Iya nih tua-tua kok blagu banget!”ujar salah satu pemuda itu kesal.
“Mungkin dia pikir kita jadi ngga tegaan sama orang tua”timpal pemuda yang lain.
Suasana semakin memanas karena mang Gimin terus bungkam. 
“Bego! Kenapa juga ia tidak langsung mengaku saja.” umpatku pada mang Gimin.
“Sinii!” Salah satu pemuda itu nampak sudah tak dapat menahan emosinya mencoba merampas paksa hp milikku dari tangan mang Gimin. 
Namun mang Gimin tak membiarkan hal itu terjadi. Ia justru memegang benda itu semakin erat. Bukk!! Tiba-tiba sebuah tinju melayang menghantam wajah mang Gimin. Kulihat tubuh tua kerempeng itu jatuh terjengkang. Dan di susul oleh pukulan dan tendangan dari pemuda lainnya mendera tubuh rentanya. Lho?! Lho? kok malah jadi begini? Aku kaget dan panik. Sungguh! Aku benar-benar tak menyangka jika kejadiannya akan menjadi segawat ini. Apa yang harus kulakukan sekarang? Apakah sebaiknya aku biarkan saja hal itu? Bukankah aku sangat ingin ia mendapat ganjaran dari perbuatannya padaku? Bukk! Bukk! Plakk! Tubuh tua itu menggelung seperti tringgiling sementara belasan hantaman terus menghujaninya tanpa belas kasihan. Duhhh...akuu..akuu benar-benar tak tegaa melihatnya...Akhh.. aku jadi bingung...dan tak tahu apa sebenarnya yang kuinginkan.
“Stopp!! Hentiiiikann!” pekikku sambil berlari menyeruak masuk ke dalam kerumunan. Begitu melihatku, para pengeroyok itu menghentikan aksinya.
Tetapi ada seseorang yang belum juga berhenti memukuli mang Gimin meski yang lain sudah berhenti. Kulihat sejak awal dialah yang paling bersemangat menjadi pahlawan. Pukulannya diayunkan bertubu-tubi ke wajah sopir tuaku itu. Dan yang semakin membuatku miris ketika melihat mang Gimin menerima setiap hantaman tersebut tanpa melakukan perlawanan sedikitpun. Dengan kemarahan kudorong orang gila kesurupan itu sekuat tenaga sehingga ia tersungkur mencium tanah.
“Hei! Apa-apaan nih!!” protesnya.
“Setannn kamu yaa!! Saya kan sudah bilang berhentii!..Sembarangan saja!!”
“Lho kok marah-marah. Bukannya neng sendiri tadi bilang bapak ini ngejamret hp-nya neng?!”
“Begoo! Bukan dia orangnya!!Yang ini sopir saya!”
“Jadii bukan bapak ini, toh?. Lantas yang mana jambretnya neng?”
“Tidak tahu! mungkin sudah kabur!” 
“Lho ..kalau begitu anu..eng..maafin kita-kita ya pak.Soalnya si neng tadi ngasih ciri-cirinya si penjambretnya mirip banget sama bapak ini..”

Setelah mendengar pengakuanku satu persatu orang-orang yang ikut menghajar mang Gimin bubar dengan sendirinya secara diam-diam. Mungkin mereka takut terkena tuntutan karena salah menjatuhkan tangan. Untung saja tak ada polisi di sekitar tempat kejadian. Tinggalah aku dan mang Gimin yang masih terkapar di rerumputan sambil merintih-rintih kesakitan. Wajah tuanya lebam di sana sini. Hidungnya mengucurkan darah. Aku mencoba membantunya berdiri. Susah sekali ternyata. Mang Gimin langsung terduduk lagi di rumput sambil meringis kesakitan. Aku sempat kuatir jika ada tulang-tulang tuanya yang patah gara-gara insiden tadi. Saat itu pandangannya beradu tatap denganku. Aku menjadi serbah salah. Matanya yang sendu itu seakan mengatakan kepadaku jika ia sudah tahu apa yang sebenarnya terjadi. Dan ia pasrah menerima apapun hukuman dariku. Meski aku tak ingin terlihat lemah di matanya. Tetap saja butiran bening menetes tanpa dapat kucegah.
“Sebaiknya kita pulang saja sekarang ya non” ajaknya lembut sambil menyeka pipiku.
“Ma..mangg sudah kuat jalan?” tanyaku ragu melihat ia masih begitu susahnya buat berdiri.
“Ya non..mamang sudah ndak apa-apa” jawabnya. Ia berjalan tertatih-tatih  mengiringiku menuju ke mobil.

##############################
Di tengah perjalanan pulang ke rumah

Entah mengapa kali ini aku mau saja ketika diajaknya pulang. 
“Non...”Panggilnya.
 Aku diam sok tahan harga. Padahal sebenarnya hatiku terisris-iris melihat wajahnya yang babak belur.
“Mamang tahu. Si  non benci sekali sama mamang...”
Ia terus berbicara meski aku tak menanggapinya.
“Non.. mamang cuma mau bilang. Saat papi non pulang dari luar kota mamang akan mengaku sama papi non.”
Aku terkejut mendengar omongannya itu.
“Lho, buat apa mang?! Mamang mau bikin masalah ini semakin runyam, yah?!”tanyaku berang.
“Non ndak usah kuatir. Mamang tak akan menceritakan soal hubungan kita sebelumnya. Mamang akan katakan bahwa mamang telah memperkosa non dengan cara membius non terlebih dahulu dengan obat tidur. Biarlah mamang mati ditembak sama papinya non buat menebus kesalahan yang mamang buat terhadap non”
“Kok mamang ngomong begituuu?!” entah mengapa aku menjadi panik mendengar dia ngomong nekat seperti itu. 
Bukan karena takut akan rahasiaku selama ini terbongkar namun lebih kepada membayangkan kemurkaan papi terhadapnya. Dan kupikir apa yang ia katakan bisa saja terjadi. Sebab papi mungkin saja memiliki senjata api meski dia adalah warga negara asing di sini.
“Buat apa lagi mamang hidup.Mamang sudah ndak punya siapa-siapa lagi. Istri mamang... Narti..tega ninggalin mamang. Sekarang non Sabrina juga membenci mamang.Lagian mamang juga sudah tua. Mati sekarang atau nanti juga tak ada bedanya buat mamang”
“Maang jangan lakukan ituu! Sabrina ga mau mamang melakukan ituuu!”rengekku. 
Mang Gimin belumlah sempat lagi berkata, tiba-tiba hidungnya kembali mengucurkan darah segar. Iapun terpaksa meminggirkan lagi mobil kami ke tepi jalan. Kali ini aku tak tinggal diam. Segera kuambil tisyu dari sakuku. Lalu mengusap lelehan darah yang keluar. Lalu kutahan tisyu tersebut pada hidungnya agar pendarahannya terhenti.
“Duh! Apa yang telah aku lakukan ini? Kenapa aku menjadi begitu lemah?” tanyaku dalam hati. “Kemanakah kemarahan dan kebencianku kemarin-kemarin itu? Amarah yang didasari oleh rasa kuatirku yang berlebihan itu. Bagaimana dengan rencana-rencanaku buat mencelakainya. Sebaiknya kuteruskan atau .......?”

Tidak! Rasanya....Aku tak bisa!. Aku jelas tak sanggup membencinya. Melihat dia dihajar seperti tadi dan kondisinya saat ini saja aku sudah tak tega. Apalagi membiarkan ia mengaku pada papi. Ia pasti celaka. Lantas bagaimana dengan semua kekuatirku selama ini? Soal keperawanan pada saat malam pernikahan itu? Lalu kemarahan dan kekecewaan mami? Saat itu akal sehatku mencoba mengambil alih kendali diriku dari perasaanku.Aku harus fokus dan lebih realistis. Baiklah! Sebaiknya kukupas saja satu persatu. Pertama-tama bukankah papi dan mami memintaku memproritaskan pendidikan di atas urusan lain? berarti pernikahanku baru terjadi setelah aku menyelesaikan kuliahku. Jadi hal itu masih sangat lama kan? Dan saat itu terjadi aku sudah tinggal di Amerika. Siapa tahu aku justru kawin sama orang bule yang notabene tidak perduli soal keperawanan. Sekaligus dengan begitu mami tidak bakalan tahu jika tak ada orang yang mempersoalkannya. Jadi apa lagi yang harus aku kuatirkan? Aku juga tak seharusnya menyalahkan mang Gimin dalam hal ini. Kalau kupikir sudah sewajarnya ia tak dapat mengendalikan nafsunya. Sudah hampir tiga minggu sejak di tinggal mbak Narti dia tidak dapat penuntasan.Lagian apakah mungkin seseorang keranjingan seks seperti dia cukup terpuaskan hanya dengan melakukan petting? Rasanya mustahil. Apalagi yang wanita yang sedang ia mesrahi adalah seorang gadis remaja yang mengiurkan seperti diriku yang memang sejak awal ingin ia perawani. Sedangkan aku sendiri tak dapat memungkiri pada saat ia menggagahiku selain rasa takut dan sakit saat itu akupun merasakan kenikmatan yang luar biasa yang belum pernah kurasakan. Bahkan begitu dasyatnya sampai tak dapat kulukiskan dengan kata-kata.  Lantas mengapa aku menguatirkan segala tetek bengek yang menghalangiku buat menikmati kenikmatan dasyat tersebut? Setelah hidungnya tak lagi mengeluarkan darah.
“Mangg. ..”panggilku.
“Iya non”
“Sabrina mau maafin mamang.”
“Lho?! Beneran nih non?” Ia terbengong. Sepertinya ia tak menyangka jika aku tiba-tiba akan memaafkan dirinya.
“Iyah! Asal mamang janji tidak kasih tahu soal ini ke papi” 
“Memangnya kenapa non? Mamang memang pantas di hukum atas kesalahan yang mamang lakukan pada non Sabrina”
“Sabrinaa ...Sabrina ga mau mamang celaka.”jawabku menunduk malu.
“Nonn...? ”
Lalu suasana sempat  hening sejenak. 

“Tapi..tapi apa bener si non sudah tidak benci lagii sama mamang?” Rupanya dia masih ragu. Tak hanya ucapan, dari kerut wajahnya juga menyiratkan itu.
“Lho iya. Emangnya mamang tidak percaya sama Sabrina?” aku agak tersinggung karena ia meragukan ketulusanku.
“Bukan begituuu... Soalnya mamang sendiri rasanya tak dapat memaafkan kesalahan mamang terhadap non. Mamang menyesal sekali. Rasanya lebih baik mamang dipukulin dan disiksa seperti tadi ketimbang dibenci sama non.” 
Aku bisa mengerti sekarang. Ternyata ia takut sekali jika aku memaafkannya hanya karena tak ingin persoalan kami ini diketahui oleh papi bukanlah karena aku sungguh-sungguh ingin memaafkannya. Aku bangkit dari kursiku dan menyebrang ke posisi duduknya. Kerangkul lehernya erat dan kupagut bibir tua itu dalam ciuman. Ia  tersentak kaget. Aku tahu ia tak menyangka aku akan berbuat seperti itu. Tapi itu hanya sesaat dan aku merasakan ia membalas kecupanku.
“Nah..Mamang sudah percayakan kalau Sabrina sungguh sudah maafin mamang?” tanyaku setelah ciuman kami terlepas.
“Iyaa nonn..mamang percaya sekarang. Terima kasihh ya non.”
Cepat-cepat kulepas rangkulanku dan kembali ke kursiku. Padahal aku pingin sekali lebih lama dalam pelukannya. Tiba-tiba aku merasakan ada sesuatu yang lain menjalari hatiku. Tak hanya letupan kerinduan  yang kurasakan namun juga...kenyamanan ...ketentraman.... serta perasaan takut kehilangan darinya. Terus terang tak bertegur sapa dengannya satu minggu ini sudah terasa menyiksa diriku. Tapi.. tapii aku takut ketika rasa sayangku kepadanya semakin membesar. Aku rasa belum siap buat....... jatuh cinta padanya.
“Mangg ayoo anterin pulang sekarang. Sabrina haus nih. Ntar sekalian Sabrina obatin lukanya mamang pas sudah di rumah”
“Oh Iyaa non iya non.” Jawabnya cepat ia baru tersadar jika aku memang belum minum sejak tadi. ”Oya Nonn..besok pagi biar mamang anterin ke sekolah ya?”
“He eh!”ujarku sambil mengangguk mengiyakannya. Hatikupun terasa lega sekali. Tak ada lagi kekuatiran seperti kemarin-kemarin. Begitu juga dengan dirinya. Aku dapat melihat senyumnya kembali tersungging di antara memar-memar wajah tuanya. Suasana penuh emosi selama sepekan ini telah kembali mencair. Keceriaan telah kembali ketengah-tengah kami berdua.

######################
Kesokannya, Hari senin, sepulang sekolah. 

Mobil mang Gimin sudah menungguku di dekat gerbang.
“Mang, kita ke hotel yang tempo hari itu yuk” ajakku bersemangat ketika ia baru akan menstarter mobil.
“Haah, Non?!” mang Gimin justru terbengong menanggapi keinginanku itu. 
“Lho, kenapa mang? Biar kali ini Sabrina yang bayar kalau mamang ngga punya uang” Memang sejak pelajaran jam pertama aku sudah horny sekali. Dan aku butuh yang ‘satu’ itu. Aku pingin lagi merasakan yang seperti tempo hari itu. Yang ada rasa sakitnya itu.
“Bu..bukann begituu...Tapiii mamang cuma heran. Kok non ndak kapok begituan sama mamang?”
“Aaaaaaa mamaaaang!!” aku berteriak ngembek sambil memukul-mukul bahunya. 
“Iyaa nonn..iyaa!. Duhh! Mamang kan ndak nolak dan cuma nanya saja.” katanya mencoba menenangkan diriku. Tanpa banyak tanya lagi mang Gimin langsung tancap gas menuju hotel tersebut.

##############################
Satu jam kemudian, Di dalam kamar hotel.

Hentakan gitar listrik mengawali lagu I For You dari Luna Sea yang mengalun dari HP-ku saat Mang Gimin melesakkan ujung penis tuanya ke dalam vaginaku setelah nyaris setengah jam-an memberiku foreplay. Mendadak ia menahan laju pinggulnya sambil bertanya.
“Nonn,boleh mamang masukin semuanya?” 
“Ihhh mamangg! La iyalah mang! Ngapain lagi minta izin segala. Sabrina kan sudah ngga perawan lagi.Lagian mana mau Sabrina ngajak kemari kalau cuma buat dicelup.” Gerutuku seraya membesarkan mataku. Dasar bego!. Bikin buyar konsentrasi saja! 
“He he iya juga” 
Perlahan ia menurunkan pinggulnya. Penisnyapun masuk sedikit-demi sedikit.
“Uhhh..pelannn..pelannn dongg maaaaangg” keluhku saat kurasakan ngilu ketika benda itu menyeruak masuk dan menyentuh bekas-bekas luka keperawananku.
Blesssssss! Dan penis perkasa mang Gimin bersarang seluruhnya di dalam vaginaku. Pubiknya mentog  menekan pubikku. Alat vital kami kembali bertaut secara utuh! Ini merupakan kali kedua kami melakukannya. Tak ada pemaksaan kali ini. Tak ada lagi kecemasan di hatiku. Memang masih ada rasa perih saat ia memasukiku namun tak seheboh ketika aku diperawaninya dulu. Tapi aku benar-benar menikmati kehadirannya ke dalam diriku kali ini.
“Ughhhhhhhhhh...manggggggg...” rintihku. 
“Masihh sakitt ya non?”tanyanya terbata-bata.
“He ehh sedikit..”jawabku lirih. 
Mang Gimin mendiamkan penisnya mengeram tanpa gerakan. Lalu bibirnya yang tebal dan kasar memagut bibirku. Memberiku ciuman yang ketat. Aku bisa merasakan kemaluannya berdenyut-denyut hebat di dalam liang vaginaku dan menimbulkan rasa gatal yang nikmat. Mang Gimin memang punya otot tantra yang sangat kuat. Saat di luar benda di selangkangannya itu mampu melenting seratus delapan puluh derajat hingga menampar perutnya.  Dapat dibayangkan bila mang Gimin mempergunakan keahliannya itu saat penisnya tengah di dalam vagina. Benda itu bak hidup. Mengembang mengempis. Menekan  semua syaraf kenikmatanku! Semakin lama penisnya mendekam  di dalam sana  semakin menggila nikmatnya. Penis mang Gimin seakan mengaktifkan picu ribuan ranjau kenikmatan di sepanjang liang vaginaku yang peka.
“Ohgghhh m..amanggg!!.....”aku kembali merintih dan menggerinjal. Bukan karena sakit namun karena enaknya sudah tidak mampu lagi aku tolerir. 
“Iyaa.. nooon?”tanya mang Gimin pura-pura bego. Ia jelas tahu apa yang tengah aku rasakan saat ini. Ia pasti merasakan otot-otot liang senggamaku membengkak meremasi penisnya.
“E..naak.bangettt!”rintihku jujur. 
“He he he kalau sudah ndak sakit mamang kocokin sekarang ya?”katanya

Lalu secara perlahan sekali ia tarik penisnya,  Aaaaaa....!. aku menatap wajahnya dengan tatapan tak rela. Aku tak ingin ia mencabutnya. Tapi sedetik kemudian ia turun menghujam secara cepat. Blesssss!
“M..aamaaaanggggg!!” rintihanku semakin keras begitu penisnya kembali amblas....Tandas ke dalam liang senggamaku!. Kedua bola mataku berotasi atau lebih tepat di sebut mendelik sejenak sebelum terpejam ketat. 
Ia ulangi gerakan itu beberapa kali sebelum akhirnya pinggulnya bergerak maju dan mundur secara lembut dan teratur  sambil memeluk pinggangku erat. Akhirnya ...Kami benar-benar bersenggama! Ngentot! Ya.. ini merupakan persetubuhan yang sebenarnya bukan lagi sebuah peting seperti yang biasa kami lakukan dulu-dulu itu. Nikmatnyapun sungguh tak terkira ! Puluhan kali lipat lebih kuat dari petting .
“Maa..maanngggg...enakk bangettt!!” Begitulah aku berulang-ulang merintih. 
Syair lagu terus mendayu ditelingaku...kokoro kara kimi wo aishiteru...seiring hentakan kontol hitam-tua-nya ke vagina bule-ku. 
“Uhhhhhh...noonn... punyaa nonn... juga enakkkk bangettt!! Perett!!!!” diapun merintih keenakan.
Cplak..clek..cplak cplok....suara mengairahkan itu mengiringi setiap benturan pubik dan kemaluan kami. Kantung testisnya berayun-ayun dan terasa menampar-nampar pantatku. Semakin lama kocokan mang Gimin menjadikan rasa nikmat yang kurasakan itu semakin menggila. Duhhh!!! Gatalnyaaa!! Rasanya aku tak mampu lagi menahannya.
“Noonn ...Mamangg mau ngetcrott di dalemm punyaa non boleh, kann?!’ rintihnya terbata-bata. Tentu saja aku rela ia melakukan itu selain karena saat ini aku sedang tak di masa kesuburanku,  aku juga memang menunggu penisnya berdenyut kuat saat kencing enaknya memancar di dalam vaginaku seperti kala pertama aku di gagahinya. 
“Iyaa manggg! Sabrinaa mauu!!”
Lalu ia peluk diriku sangat erat sambil mempergencar tempo kocokannya. Akupun balas semakin erat merangkul dirinya. Sementara itu dinding-dinding vaginaku mengembung..membengkak..seakan hendak meremas habis penisnya.. Lalu dalam hitungan detik sebuah kontraksi diiringi ledakan besarpun terjadi...
“Manggggggg sayaanggggg Sabrinaa dapettttt!!AAAAAAAARRRRGGHH!!!”pekik kenikmatanku membahana memenuhi kamar hotel itu. 
Orgasmeku datang lebih dulu darinya. Aku mengangkat pinggulku seraya mencengram bungkahan pantatnya kuat-kuat dengan kedua tanganku. Aku ingin semua penisnya menghujam masuk sejauh mungkin ke dalam vaginaku!

Sedetik kemudian mang Gimin membentak kasar dan jorok 
“AAAARRRRHHH..NONOOOK!!”
Dia menyusul ‘dapet’. Kepala penisnya yang  mirip jamur itu berdenyut secara kuat di dalam rongga vaginaku. Lalu CROOOOOOOOOOTTTTTT!!..... seketika itu air mani mang Gimin memancar deras. Sementara itu aku terus mengerang ditengah orgasmeku yang masih terus berlangsung. Tubuhku mengenjan. Sungguh tak terkatakan nikmat yang kualami saat itu Pinggulku terangkat dari kasur menyambut hujamannya. Sementara rahimku menyambut setiap pancaran benihnya.
“AWWWWWWW...Mamaaaaangggg!!” 
CRROOOOOOOTTTT!!!...........CROOOOTTTTTTTTTTT!!!
“Aaaaaarggg!!Nonoookk!!!..” lagi-lagi ia membentakan kata-kata nan jorok itu setiap kali spermanya terpancar. 
Tubuh kami semakin erat melekat satu sama lain. Menggelinjang dan menjerit bersamaan dalam kukungan puncak kenikmatan menggila itu. Sementara alat vital kami bertaut, berkedut hebat dan saling memberi kenikmatan satu sama lain. Mang Gimin masih terus saja ia menghujam-hujamkan kontolnya. Hingga tiga menitan semuanyapun berlalu. Mang Gimin ambruk di atas tubuhku.
“Hss..Aduhh nonn...hsss..enaknyaa!... mamang ndak bisa ngomong lagi!... badan mamang sampe gemetaran kaya meriang..hsss...mamang sayang banget sama nonn...hsss” puji mang Gimin di antara engahan napasnya yang masih memburu. 
Sepertinya ia tak bohong. Bukan cuma aku yang merasakan kenikmatan hebat itu dia juga merasakannya. Bahkan tubuhnya kurasakan masih bergetar-getar bak kesetrum. Kukira apa yang terjadi pada mang Gimin merupakan dampak psikologis karena begitu bahagianya ia dengan penyerahan bulat-bulat diriku kepadanya sehingga mendorongnya mengalami orgasme yang begitu  kuat seperti barusan itu.
“Hi hi hi..mamang... sampe segitunyaa...udahh mamang diem aja dulu. Ga usah bawel!” 
Ketika kami kembali berciuman. Kulumat bibirnya dengan gemas. Aku gemas karena aku ingin ia entot lagi!. Nikmat yang menderaku barusan tadi itu sungguh membuatku ketagihan. Tidak!Bagiku itu bukan lagi letupan sebuah ranjau. Itu adalah ledakan dari bom Nuklir mini. Tak ada lagi penyesalan di hatiku karena telah menyerahkan keperawananku pada sopir tuaku itu.Yang kusesalkan kini justru mengapa terlambat melakukannya.

Tak perlu permohonan dariku. Sebagai seorang yang sangat berpengalaman di ranjang mang Gimin sangat tahu akan hasrat gadis muda sepertiku. Kontol tuanya terasa masih begitu kaku di dalam jepitan liang senggamaku. Dalam satu jam ke depan ia tak lagi berhenti menggenjotku, menghajarku, memberiku letupan demi letupan kenikmatan yang tak terhitung lagi jumlahnya. Vaginaku tak pernah lagi terlepas dari sumbatan penis tuanya. Kini aku bisa mempraktekan berbagai posisi bercinta yang pernah dipertontonkan olehnya dengan mbak Narti dulu.
“Manggg Udahan duluu!.Punya Sabrina ngiluuu banget… cabutt sekarang!.”rintihku padanya. 
Salahnya sendiri kalau aku jadi kesakitan. Entah mengapa dia berusaha keras ‘memaksakan’ penisnya yang melengkung itu buat mencapai dasar vaginaku. Tapi tetap saja ia gagal melakukan itu. Secara logika liang indo-ku masih terlalu dalam untuk bisa ia gapai dengan ujung penisnya. Seandainya saja penisnya lebih panjang satu atau dua senti lagi mungkin saja keinginannya itu bisa terjadi. Mang Gimin menuruti permintaanku. Ia menghentikan genjotannya dan mencabut lepas penisnya dari liang vaginaku. Plop! Seketika spermanya yang terkumpul di dalam liang senggamaku bertumpahan ke atas sprey. Kulihat penisnya melayang tanpa bobot bak sebuah balon zepplin hanya beberapa senti di atas pubik-ku. Aku tahu dia masih pingin lagi.  Buktinya benda perkasa itu masih ngacung keras sekali. Terangguk-angguk  kuat oleh otot tantra-nya. Namun belum lagi satu menit.
“Mangg…masukinn lagii”pintaku
“Lho, kata non tadi udah?”tanyanya heran.
“Aaaa!!..Masukinn!!” rengekku manja.Aku lebih rela merasakan sakitnya ketimbang harus berpisah dengan rasa nikmat yang diakibatkan oleh penis tuanya itu.
“Iya..iyaa..” ujar mang Gimin menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkahku itu. Ia kembali naik ke atas tubuhku dan menjejalkan senjata-nya ke dalam vaginaku.
Jlepp!! Seketika penisnya kembali bersarang di vaginaku dengan membawa rasa perih dan kenikmatan sekaligus. Kamipun ngentot lagi!. Benar sekali apabila mbak Narti mengumpamakan mang Gimin bagai seekor kuda tua yang liar. Sepanjang siang itu aku digarapnya habis-habisan. Aku  tak dapat lagi menghitung berapa kali aku mendapat orgasme darinya siang itu. Dan diapun sudah berkali-kali orgasme. Kukira seharusnya testisnyapun sudah kosong. Tapi ia seakan tak ingin membiarkan tubuhku indahku tersia-sia begitu saja. Meski tubuhnya telah basah kuyup dibanjiri oleh peluh namun ia terus mengayun pantatnya dengan perkasa membuat penis tuanya tetap lincah mengaduk liang senggamaku ke sana kemari. Dan Sungguh! Aku sama sekali tak merasa terhina setiap kali ia meracau jorok ditengah-tengah ejakulasinya. Itu justru merupakan sanjungan buatku. Sebab ia tak pernah seperti itu bila bersetubuh dengan mbak Narti. Itu artinya aku lebih unggul dari mbak Narti. Itu juga berarti vaginaku jelas lebih enak ketimbang punyanya mbak Narti. 

Di permukaan sprey kutemukan bercak-bercak darah. Kemungkinan berasal sisa-sisa selaput daraku. Sebab dulu itu kami cuma sempat bercinta sebentar. Dan kali ini mang Gimin telah menuntaskannya. Mencabik-cabiknya habis sehingga tak tersisa sedikitpun sekaligus mengubur peluang bagi pria manapun di dunia ini termasuk suamiku kelak untuk ikut merasakannya. Kurasa kini dia benar-benar puas karena keinginannya untuk menjadi lelaki pertama bagiku sudah terkabul. Sepulangnya dari situ kami tidak langsung menuju ke rumah. Mang Gimin justru melarikan mobilnya menuju ke arah luar kota. Dua jam kemudian kami tiba di sebuah desa kecil yang terpencil. Kami masih harus berjalan kaki lagi selama lima belasan menit sebelum akhirnya sampai di sebuah rumah yang berdiri sendiri di sana tanpa ada satupun rumah lain di sekitarnya. Aku baru tahu ternyata itu adalah rumah seorang penghulu nikah sirih.Pikiranku berkecamuk dan hatiku diliputi kegalauan saat mang Gimin meminta kesedianku buat menjadi istrinya.
“Kenapa kita harus nikah, mang? Sabrina kan tidak minta tanggung jawab mamang atas ternodanya Sabrina” tanyaku heran.
“Mamang cuma ingin non dan mamang bisa selalu bersama”
“Tapii Mangg…Sabrina pikir ini tidak betul..dan.. dan..Sabrina belum siap… ”kataku. Kukira kami masih dapat terus menikmati kebersamaan itu tanpa harus menikah sekalipun.
“Ndak apa apa kalau non tidak mau. Mamang ndak memaksa.” ujarnya pasrah.
Aku tahu dia kecewa atas penolakanku. Tetapi aku tak menemukan alasan yang jelas buat menikah dengannya. Saat kami melangkah ke luar rumah pak penghulu. Aku melihat guratan kesedihan yang mendalam di wajah tuanya. Aku pernah melihatnya seperti itu setelah mbak Narti meninggalkannya.
“Mamang tidak marah pada Sabrina, kan?”tanyaku.
“Ndak non. Mana mungkin mamang marah sama non. Mamang sudah kadung sayang sama non. Walau non ndak mau mamang nikahi rasanya mamang sudah bahagia. Asalkan bisa selalu melihat senyuman non Sabrina di sisa umur mamang,” ujarnya sambil tersenyum getir.
“Ohh..mangggg..”
Aku merasa haru sekaligus tersanjung mendengar pengakuannya itu. Tak kuduga lelaki tua itu ternyata menyukaiku. Ia benar-benar jatuh cinta kepadaku. Dan ia ingin memiliki diriku secara total bukan hanya menginginkan tubuhku semata. Aku menjadi termenung sesaat. Bagaimana dengan diriku? Rasanya sudah cukup bukti jika akupun sangat mencintainya. Lantas apa yang menghalangiku buat bersatu dengannya? Bagaimana dengan status sosial dan usia mang Gimin yang tak sepadan denganku? Apakah aku malu mengakui perasaanku kepadanya? Dan sanggupkah aku melihat lelaki yang telah merengut kegadisanku akhirnya mengambil keputusan menikahi wanita lain karena penolakanku ini?

“Manggg…”panggilku.
“Iya non?”
“Nikahi Sabrina, mang. Sabrina bersedia menjadi istri mamang” ujarku mantab.
“Be..benarr nih nonn?” tanyanya tergagap. Ia nampak terkejut sekali mendengar ucapanku itu. 
Aku mengangguk mengiyakan. Aku tak ingin lagi hidup dalam ketidakjujuran. Perasaan cintaku kepadanya terus tumbuh semakin besar dari waktu ke waktu tanpa ada yang bisa mencegahnya. Apalagi setelah  semua yang terjadi di antara kami. Mana mungkin aku hidup tanpa dirinya. Aku begitu membutuhkan dirinya. Dan akupun ingin memiliki dirinya seutuhnya hanya untuk diriku sendiri. Aku sadar akan semua konsekwensi dari keputusan  singkat yang kuambil saat itu. Hari-hariku mungkin sudah tak akan sama lagi dengan sebelumnya.Tetapi  aku sudah mantab menyerahkan segala-galanya demi dia.
“Terima kasih, non” Ujar Mang Gimin lega.  
Wajahnya yang tadi muram kini tersungging sebuah senyum kebahagiaan. Aku-pun menarik tangannya kembali ke dalam rumah pak penghulu. Siang itu, aku resmi menjadi istri kesekian mang Gimin. Aku tak tahu apakah pernikahan kami syah atau tidak. Tetapi aku  tak ambil pusing akan soal itu. Yang jelas saat itu aku merasa begitu bahagia bisa bersatu dengannya. Selesai melangsungkan pernikahan. mang Gimin memberikan sejumlah uang kepada pak penghulu. Lalu kamipun bergegas pergi dari situ. Tapi hujan turun dengan lebatnya. Kami tak punya pilihan lain selain menerobos derasnya hujan. Kendala lain pun muncul. Karena vaginaku masih terasa sakit sekali maka mang Gimin harus memapahku saat berjalan. Akibatnya kami berdua basah kuyup ketika sampai di dalam mobil.
“Non Sabrina..”ujarnya sebelum menstarter mobil.
“Iya mang”
“Mamang berjanji setelah ini mamang tak akan pernah menikah lagi. Biarlah non yang menjadi istri terakhir buat mamang”
“Aduhhh pake ikrar segala sih mang? Benerannn nihh?” godaku tak percaya.
Mang Gimin cuma mengangguk. Tetapi mata tuanya menatapku dengan pandangan yang teduh. Tatapannya kurasakan begitu kebapakan sekaligus membuat aku tersadar jika ia bukanlah lagi sopirku yang bisa kuperintah atau ku olok-olok sekehendak hatiku. Mang Gimin sekarang adalah suamiku yang harus aku hormati. Aku merangkulnya erat seraya berucap
“Manggg maafin istrimu ini ya. Mulai saat ini Sabrina akan mengabdi kepada mamang”
Ia membelai rambutku lembut membuatku merasa nyaman berada di dalam dekapannya. Hujan terus turun dengan lebatnya diiringi suara guntur mengiringi ikrar kami berdua hari itu. 

########################
Setibanya di rumah hari sudah menjelang malam.Malam itu aku jatuh demam.Kedua pembantu pengganti mbak Narti menjadi kelabakan. Mereka secara bergantian merawat dan mengompresku. Mereka juga mengabari mami perihal itu sehingga mami mengomel di telpon kepada mang Gimin. Dia mengira aku sakit gara-gara kehujanan saat menunggu jemputan mang Gimin yang doyan pergi ngelayap. Saat tidur vaginaku tiba-tiba kram. Rasa nyeri di selangkanganku membaur jadi satu dengan sisa kenikmatan membuatku aku mengigau dalam demamku. Untungnya mereka terlalu bodoh untuk mengerti apa yang aku ucapkan. Kesokan harinya mami pulang mendadak karena kuatir dengan keadaanku. Aku melewati hari-hari dengan beristirahat di kamarku. Aku dilarang mami buat keluar dari kamar. Mang Gimin tak bisa berbuat banyak meski ia sangat mencemaskanku. Ia hanya bisa saling menatap rindu dan melempar senyum denganku dari balik kaca jendela kamarku. Setelah lewat satu minggu aku-pun  sembuh total. tetapi hari itu aku belum kembali ke  sekolah. Pagi itu mami berangkat lagi.ketika aku sedang tidur-tiduran sendirian di kamar. Tiba-tiba mang Gimin masuk. Ia langsung naik ke ranjangku. Tanpa ba bi bu lagi ia menyergapku dengan ciuman ketat.
“Empp.?” aku kaget tapi langsung membalas kecupannya. Aku rindu sekali akan belaiannya.
“Manggg entar ketahuan sama bibik” ujarku cemas  ketika ciuman kami terlepas.
“Ndak usah kuatir, non. Mereka berdua sudah mamang kasih duit buat jalan-jalan ke Mal sampai sore.”Jelasnya.Ternyata mang Gimin panjang akal juga.
“Mamang kengen banget sama nonnn”
“Sabrina juga kangen sama mamang”Saat itu aku memang sangat membutuhkan dirinya di dekatku.
Kami kembali berciuman.
“Mangg cepetan entot Sabrina” ujarku tak sabaran. 
Meski beberapa hari yang lalu mang Gimin mengintimiku hingga selangkanganku ngilu..Tapi aku tidak kapok. Aku justru rindu akan sodokannya. Sakit berbaur dengan orgasme yang terjadi membuatku tergila-gila dan ketagihan akan seks.
"Non pinginnya mamang celup apa di entot?"
"Dijilatin, dicelup terus di entot sama kontol gede mamang"

Setelah satu minggu lebih aku tersiksa menahan gairahku. Akhirnya aku memperoleh penuntasan dari tubuh tua suamiku itu. Itu adalah kali ke pertama kami bersetubuh setelah pernikahan kami. Siang itu kami melakukan persetubuhan dalam durasi yang panjang. Sekian jam kontol melengkung mang Gimin tak lagi kulepaskan dari kuluman liang senggamaku. Malamnya kami kembali mengulanginnya sampai menjelang pagi harinya. Layaknya pengantin baru lain akupun sangat menginginkan hubungan badan yang sangat sering dan Mang Gimin tak pernah mengecewakanku dalam urusan yang satu itu. Meski sudah tua dan peot ia begitu jantan dan berpengalaman.  Untuk bisa bercinta denganku mang Gimin tak pernah kehabisan akal. Setiap malam ia menyusup masuk lewat jendela kamarku. Lalu keluar di pagi harinya melalui jalan yang sama. Untungnya kedua pembantuku tak pernah menyadari apa yang terjadi di dalam kamarku setiap malamnya. Mereka juga selalu tidur lebih awal sehingga memudahkan aksi mang Gimin. Apa yang diharapkan mbak Narti tempo hari sudah menjadi kenyataan. Aku sudah berhasil mengantikan kedudukan dirinya.Aku  berusaha keras memberikan yang terbaik buatnya sebagai tanda pengabdianku. Tak hanya meladeninya di ranjang.Akupun memasakan ikan peda balut daun labu makanan kesukaannya, menyedukan teh jahe minuman favoritnya di waktu pagi dan sore. Juga semua hal yang pernah di lakukan mbak Narti dulu kepadanya. Tetapi mang Gimin justru melarangku terus-terusan melakukan semua itu. Ia bilang ia tak ingin hubungan kami sampai di ketahui oleh orang lain terutama oleh kedua pembantuku. Ia mengatakan ia sudah merasa sangat bahagia tanpa aku harus melakukan semua itu buatnya. Terbukti setelah menikahiku tubuhnya pun kembali agak gemukan. Aku sungguh bahagia bersuamikan dia. Aku hanya tersenyum bila mendengar para teman sesama gadis di sekolahku tengah membicarakan pria idaman mereka yang tampan. Seandainya saja kalian tahu betapa perkasanya mang Gimin di ranjang...betapa buasnya dia saat menggauli raga beliaku...betapa dasyat kenikmatan yang dapat kalian peroleh dari penis keriputnya...tentu kalian tak perlu lagi mengejar-ngejar pria seperti yang kalian idolakan itu. Anehnya selama hampir satu tahun digaulinya aku tak pernah sampai hamil. Padahal mang Gimin tidak pernah lagi memakai kondom setiap kali bersetubuh denganku. Tidak seperti saat ada mbak Narti dulu. Entah apa yang ada dalam pikiranku. Aku tak pernah mencegahnya  buat berejakulasi secara internal di dalam vaginaku meski di waktu-waktu suburku. Setiap tetes sperma yang terproduksi oleh testis tuanya  ia tanamkan semuanya di dalam rahimku membuatku beresiko terhamili.

Hingga pada suatu hari tugas papi di sini selesai. Ia harus kembali ke Amerika membawa mami dan diriku ke sana. Itu artinya  aku dan mang Gimin harus berpisah. Aku sempat menangisi perpisahan itu. Sebelum berangkat aku memberinya sebuah handphone agar aku dan dia bisa saling mengabari dari jauh. Setelah kehilangan mbak Narti dan kini aku juga harus terpisah dari suamiku, mang Gimin. Setelah berpisah dariku mang Gimin menepati ikrarnya saat menikahiku dulu.Ia tidak pernah lagi menikah. Ia hidup menetap di kampungnya seorang diri. Hingga satu tahun berselang setelah itu kudengar berita dari mbak Narti jika mang Gimin  meninggal. Aku menangisinya sampai berhari- hari. Ada rasa penyesalan karena aku tak bisa merawatnya dan berada di dekatnya sebelum kepergiannya. Di Amerika ternyata nasibku juga tak lepas dari kemalangan. Pada bulan itu juga, sebuah kecelakaan pesawat telah merengut nyawa kedua orang tuaku. Kuliahku di sana sempat terhenti. Aku benar-benar menjadi sebatang kara. Mami memang tak memiliki kerabat di sana. Sedangkan keluarga  papi terasa asing bagiku.Setelah peristiwa itu aku putuskan untuk kembali kemari. Aku memilih tinggal bersama saudara jauh nenekku dari mami di kota H. Ia seorang janda tua yang hidup sendiri. Sambil bekerja di sebuah agensi model aku meneruskan kuliahku.

#########################
Setetes air bening jatuh membasahi lembaran kertas diary. Menjadikan semua keajaiban itu terhenti. Sabrina kembali lagi ke alam nyata. Tulisan- tulisannya kembali terlihat terpenggal-penggal oleh batasan-batasan ruang dan waktu.

Dear Diary…

8 Agustus..

Kampus baru, suasana baru, Dan Woww..cowok-cowoknya  keren… 

Siang tadi aku berkenalan seorang gadis….cantik sekali. Sepertinya hatinya baik. Dari cara bicaranya aku tahu itu bukan keramahan yang ia buat-buat.  Tak seperti kebanyakan cewek lain yang belum apa-apa sudah menanamkan rasa iri dan dengki karena kecantikanku.  

Belum satu jam berkenalan namun sudah banyak sekali yang kami bicarakan. Lidya Indahsari namanya.

Aku suka anak ini… Aku sangat berharap dia bisa menjadi seorang teman baik buatku.….

#######################-
“Eh Rin…Aku haus banget! Ambil minum, yuk” terdengar suara ajakan Lidya semakin menyadarkan Sabrina.
Cepat-cepat ia menutup buku yang berisikan rahasia masa lalunya itu. Sabrina merasa ia harus menyembunyikan semuanya dari Lidya sebab ia kuatir Lidya tak bakal bisa menerima semua itu. Apa yang telah ia lakukan tak berbeda dengan Lila. Dia-pun pernah menjalin sebuah hubungan dengan seorang pria berstatus sosial sama seperti Alfi. Bahkan menikahinya. Sabrina tak ingin semua itu akan merusak hubungan persahabatan mereka.
“Hei,?! Engkau menangis, Rin?!” tanya Lidya kaget melihat mata  dan pipi sahabatnya itu basah. Sabrina-pun tersadar dan berusaha menguasai dirinya sambil menyeka sisa air matanya.Tetapi air matanya tetap terus berjatuhan tanpa terbendung.
“Duhh Rin!Ada apa?” Lidya cepat memeluk sahabatnya yang sebatang kara itu.
“Ngga apa-apa, Lid…Hks… A aku hanya teringat sama mami dan papi. Terkadang aku merasa dunia ini begitu tak adil kepadaku hks” jawab Sabrina justru semakin terisak-isak.
“Sttt…sudahh Rinn..sudahh. Kan masih ada aku. Biarkan aku menjadi seorang saudara bagimu. Biarkan aku menjadi pengganti keluargamu yang telah hilang itu, ya” bujuk Lidya iba. Sesungguhnya nasibnya memang masih lebih beruntung dari nasib Sabrina. Meski ayahnya juga sudah tiada tapi setidaknya ia masih memiliki seorang ibu dan kakak yang sangat memperhatikan dan menyayangi dirinya. Sedangkan Sabrina hidup seorang diri tanpa sanak keluarga. Keceriaannya dan keliarannya selama ini hanyalah sebuah pelarian dari rasa kesepiannya akan cinta dan kasih sayang. 
“E.ngkau sudi menganggap aku sebagai saudaramu, Lid?”
“Lho memangnya kenapa Rin? Sejak dulupun menganggap persahabatan kita lebih dari sekedar teman”
“Sekalipun aku adalah seorang gadis liar yang memiliki latar belakang yang berbeda denganmu?”
“Rinnn.Aku menyayangimu. Apakah itu masih belum cukup?”
“Itu sudah lebih dari cukup,Lid. Makasih ya” ujar Sabrina kali ini ia yang memeluk Lidya. 
Lidya sengaja menahan sahabatnya itu agak lama dalam peluknya. Lila pernah mengatakan jika secara psikolgis sebuah pelukan yang hangat  akan memberikan rasa nyaman pada seseorang yang sedang mengalami tekanan secara mental sekaligus merupakan obat antistress yang efektif. Dan ia tahu Sabrina sangat membutuhkan hal itu saat ini. 
“Nah sudah lega, kan?” tanya Lidya ketika pelukan mereka terpisah dan disambut anggukan Sabrina.

Lidya senang melihat sebuah senyum kebahagiaan mengembang dari sahabatnya itu. Lalu mereka keluar dari kamar dan menuju ke dapur. Untungnya mereka sempat membeli aneka soft drink dan jus buah saat datang ke rumah ini. Mereka melepas penat sambil menikmati kesejukan jus dari kulkas.
“Eh ngomong-ngomong sepertinya Alfi sudah selesai mengerjakan semua perintahmu. Sebaiknya suruh saja ia pulang” ujar Sabrina melongok ke luar jendela melihat anak itu tengah duduk tersandar di teras belakang dengan baju basah kuyub oleh keringat.
"Sebenarnya aku belum puas memberinya pelajaran!"
“Aduhhh kok mulai sewott lagi sih, Lid?”
“Iya soalnya aku bener-benar sebal kepadanya! Aku ingin ia menjauh selamanya dari kehidupan kak Lila!” 
"Hmm..Kalau begitu biarkan ia sering datang kemari atau… minta pada kakakmu agar dia tinggal di sini bersama kita biar bisa engkau kerjai dia tiap hari"ujar Sabrina.
"Engkau sudah gila? Mana mungkin aku membiarkan seorang pemerkosa, penjahat kelamin seperti dia berkeliaran di sekitar kita. Bisa-bisa kita-pun dimangsanya!"
"Jika tak begitu, bagaimana engkau bisa memberinya sebuah pelajaran yang pahit"
"Maksudmu?" Tanya Lidya mulai tertarik akan saran sohibnya itu.
"Bukankah tadi engkau katakan jika engkau ingin dia pergi dari kehidupan kakakmu?”
“Ya, lantas?”
“Kenapa tidak kita jebak saja dia”
“Dijebak?”
“Ya.Kita goda dia. Begitu ia ingin melakukan aksinya kita jebak dia dengan perangkap yang telah kita sediakan. Setelah ada bukti kejahatannya barulah kita beri ia hukuman sekehendak yang engkau inginkan"
"Aku masih belum mengerti?.”
"Ahhh! Nanti akan aku jelaskan detailnya. Percayakan saja semuanya padaku. Yang penting engkau setuju atau tidak kita melakukannya?"
“Baiklah kalau begitu" Lidya akhirnya setuju melihat Sabrina begitu antusias menjalankan rencananya.

############################
Keesokan harinya, Pukul 12:30
Pada sebuah bank.

Terlihat Alfi masih memakai seragam sekolahnya tengah duduk menunggu di antara para nasabah.  Sepulang sekolah ia langsung menuju kemari atas permintaan Lidya karena ada sesuatu yang ingin Lidya bicarakan dengannya. Hari ini merupakan grand opening bagi cabang bank itu di kota S. Nasabah yang mengantri sudah  lumayan banyak. Mereka tak hanya dibuat nyaman oleh suasana interior bank berkelas namun juga oleh pelayanan dan senyum ramah dari staf bank yang rata-rata cantik. Terlihat Lidya duduk di belakang salah satu meja custamer service tengah melayani seorang nasabah. Begitupun halnya Sabrina yang menempati meja bersebelahan dengannya. Pandangan Alfi terus bergantian menatap ke arah ke dua gadis itu. Tadinya ia berpikir tak ada gadis lain yang bakalan dapat menandingi kecantikan Sandra dan Niken. Ternyata dugaannya salah. Kedua gadis itu seakan merupakan pilar bagi Bank ini. Kemolekan Lidya dan Sabrina seakan menjadi magnet bagi para nasabah pria di sana. Senyum manis selalu mengembang dan menghiasi wajah mereka  saat melayani sang nasabah yang duduk dihadapannya. Suatu ketika Sabrina bangkit dari kursinya lalu berjalan menuju ke sebuah meja tempat tumpukan slip yang berada di sisi lain dari Bank itu. Sepertinya ia mengambil sesuatu buat orang yang sedang dilayaninya. Tatapan Alfi nyaris tak berkedip melihat sosok molek yang melenggok bak peragawati di atas catwalk melintasi tempat duduknya. Begitu jarak mereka semakin dekat, Alfi semakin tak dapat memungkiri kalau Sabrina memang sangat cantik. Tubuhnya tinggi semampai didukung oleh proporsi ukuran tubuh yang ideal bagai jam pasir itu menjadikannya begitu sempurna dimata lelaki manapun. Tak hanya itu balutan seragam ketat berwarna menyala membuat kulitnya yang putih semakin bercahaya. Ditambah rok yang sedikit jauh di atas lutut semakin membuat jantung Alfi berdetak-detak kencang. Betapa indahnya kedua batang kaki  yang bergerak saling mendahului itu. Tak dapat dibayangkan pula betapa dasyat dan indahnya kawasan yang ada di bagian pangkalnya. Pikir Alfi semakin jauh melayang. Selagi ia tengah  larut dalam hayalan indahnya tiba-tiba saja Sabrina berhenti di depannya.
“Eh..AlFi? Engkau menunggu Lidya, ya?”tanya gadis itu sambil tersenyum.
“I.iyaa .kakk..”jawab Alfi gelagapan. Duhh! Manisnya. Matanyapun berbinar indah bak mutiara.
“Sabar yaa. Kira-kira dua puluh menit lagi giliran kami istirahat”
“Baik kak”

Alfi tak habis berpikir bagaimana bisa seorang karyawan lelaki dapat bekerja dengan baik dan penuh konsentrasi di tengah-tengah parede makluk-makluk molek seperti Lidya, dan Sabrina.Wanita-wanita ini yang tak hanya memiliki paras yang cantik namun juga memiliki tubuh indah yang dapat merentangkan tali syawat seorang lelaki sampai putus. Tak hanya para nasabah lelaki. Alfi yakin sekali jika para lelaki pada bank itupun selalu diliputi ketegangan. Seperti Pak Niko.Salah seorang  kepala bagian di sana yang mondar mandir mengawasi jalannya pelayanan para stafnya kepada nasabah. Alfi melihat pria perlente bertubuh subur itu berulang kali mengusap dahinya dengan sapu tangan padahal tak ada peluh sedikitpun yang mengucur keluar dari kulitnya. Tentu saja karena ruangan di situ selalu dingin oleh semburan hawa AC. Jelas ia hanya berpura-pura kepanasan sehingga ia bisa menggunakan sapu tangannya sebagai kamuplase agar orang-orang di sekitar situ tak melihat gerakan matanya.  
“Dasar buaya!…Kena kau!” ujar Alfi dalam hati saat ia melihat Niko mencuri-curi lirik ke arah tubuh aduhai gadis-gadis itu.
Alfi mengganggap sesungguhnya pihak menegemen Bank sudah dengan sengaja mengeksploitasi para gadis karyawan mereka. Tinggal hal tersebut dikatakan menjadi sebuah masalah pelecehan seksual apabila seorang lelaki ketahuan tertangkap basah menatap batang-batang paha putih nan indah itu dan si pemilik paha-paha putih tersebut menjadi tidak senang. Jadi hal tersebut syah-syah saja sepanjang si penikmat pandai-pandai mengintip dan memanfaatkan situasi seperti pak Banusi security tua yang bertugas memberikan kartu antrian yang ballpoint-nya sangat sering jatuh ke lantai sehingga membuatnya sering menjongkok buat memungut benda tersebut sambil menatap lurus ke arah gadis-gadis yang sedang duduk melayani para nasabah.Syukur-syukur si gadis tersebut sedang dalam posisi tak begitu menguntungkan sehingga si tua itu bisa melihat bagian yang agak lebih menjorok ke dalam di antara kedua batang paha-paha itu. Alfi sendiri mencoba mengendalikan dirinya dengan menonton acara pada televisi yang di sediakan buat para nasabah yang sedang duduk menunggu antrian. Ia lakukan itu karena penisnya perlahan namun pasti berdiri dan mendesak celana sekolahnya. Sungguh tak lucu bila setiap orang diruangan ini melihat tonjolan besar tersebutsaat ia berdiri nantinya.

######################
Pukul 13:00
Di Kantin Bank 


“Fi, kami berdua ingin minta tolong kepadamu”ujar Lidya membuka percakapan.
“Minta tolong apa ya kak? Beres-beres rumah lagi?”
“Bukan. Kami ingin kamu menemani kami selama kami menempati  rumah milik kak Lila soalnya kami tak berani menempati rumah itu berdua saja tanpa ada lelaki. Seperti yang engkau ketahui bahwa kami adalah orang baru di sini.”
“Eng..Tinggal di sana, kak?” tanya Alfi seakan tak yakin dengan atas apa yang ia dengar barusan.
“Iya benar. Dan rencananya nanti sore aku akan menemui kak Lila buat minta izin buatmu”
Wow! Tinggal serumah dengan mereka berdua?! Jantung Alfi kembali berdetak kuat diiringi oleh reaksi hormon kelaki-lakiannya yang langsung mendorong penisnya ber-ereksi. 
“Tapii...Aduhh bagaimana ya? Rasanya Alfi tidak bisa kak...soalnya... anuu”jawab Alfi. Jelas ia mau. Tapi masalahnya Lidya  tidak mengetahui jika sebenarnya ia justru tidak tinggal serumah dengan Lila. Namun ia tak mungkin menjelaskan kepada mereka soal hubungan dirinya dengan Sandra dan yang lain. 
“Jadi engkau tidak bersedia menolong kami?!”tanya Lidya mulai dongkol mendengar penolakan Alfi.
“Alfi bukannya ga mau menolong, kak. Tetapi Alfi benar-benar tidak bisa, kak. Lagian jika masalahnya hanya karena faktor keamanan. Kakak berdua tidak usah kuatir. Kawasan itu sangat aman, kok. Dulupun kak Lila selalu pulang praktek malam dan tinggal sendirian di situ. Sedangkan kakak tinggal berdua di sana, kan?”
“Akh! Pokoknya kami tidak mau ambil resiko, Fi!.Bagaimana jika sampai ada yang berbuat jahat pada kami? Untuk itu kamu harus tinggal bersama kami di sana!”ujar Lidya dengan suara yang mulai meninggi. Jawaban Alfi tersebut semakin membuat Lidya gemas dan tak sabaran. Ia merasa Alfi sengaja menolak karena tak ingin dipisahkan dari Lila.
“Tapi kak kenapa harus Alfi. Kakak kan bisa saja mencari orang lain!” jawab Alfi. Ia sendiri mulai kesal dengan sikap Lidya yang sangat egois dan selalu terkesan bossy terhadapnya. Sungguh berbeda dengan Lila, gadis ini sungguh sulit diberi pengertian. Melihat suasana berubah memanas cepat-cepat Sabrina mengambil alih kendali.
“Emm begini, Fi. Maksud Lidya keberadaanmu di sana hanya untuk sementara waktu saja hingga situasi benar-benar kami anggap aman. Mungkin hanya sekitar dua minggu-an begitu.”
“Engg...”Alfi masih belum bisa memutuskan hal itu. Bagaimanapun ia harus bicara dulu dengan Sandra dan yang lain.
“Bisa yaa Fiii. Masa kamu tega melihat kami berdua selalu dalam ketakutan?” rayu Sabrina. Duh! Pertahanan Alfi seakan runtuh mendengar suara memelas itu.
“Terserah apa kata kak Lila nanti.Alfi sih menurut saja, kak” 
“Soal itu biar Lidya yang mengatakannya pada kak Lila. Yang penting bagaimana dengan kamu? Apakah kamu bersedia?” tanya Sabrina.
“Iya deh kak. Alfi bersedia” jawab Alfi 
“Nah gitu donk hi hi hi.”  Ujar Sabrina sambil mengerling dan tersenyum penuh arti ke Lidya.  Permainan ini baru saja dimulai. Tetapi mereka sungguh  lupa menyadari jika selalu adanya resiko ‘kalah’ pada setiap permainan.

Bersambung